Reporter: Agus Triyono, Asep Munazat Zatnika, Margareta Engge Kharismawati, Pratama Guitarra, Titis Nurdiana | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Urusan subsidi bahan bakar minyak (BBM) ibarat duri bagi kaki pemerintah baru. Maka itu, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) ingin lekas-lekas menaikkan harga BBM. Targetnya, harga BBM naik pada 5 November 2014.
Namun, Tim Transisi Jokowi-JK dan Kalla masih terbelah mengenai besaran kenaikannya. Tim Transisi menginginkan harga BBM naik sekitar 15% atau setara Rp 1.000 per liter. Sedangkan Kalla kabarnya menginginkan harga BBM naik 46,1% atau sebesar Rp 3.000 per liter.
Hasto Kristiyanto, Deputi Tim Transisi Jokowi-JK, ingin kenaikan harga BBM tak lebih Rp 3.000 seliter. "Kenaikan BBM belum pernah lebih dari Rp 3.000," kata dia, kemarin (23/9).
Kalla menyatakan, kenaikan harga BBM penting untuk mengurangi beban pemerintah baru. Dananya akan digunakan untuk membiayai sektor produktif. "Jadi, kita kurangi kemiskinan dengan menekan subsidi BBM," ujarnya.
Sayang, dia enggan menjelaskan berbagai program antisipasi dampak kenaikan BBM, maupun sektor-sektor produktif yang akan digenjot dengan hasil penghematan subsidi. "Pada saatnya akan diumumkan," elak Kalla.
Padahal kejelasan program itulah yang diperlukan untuk meredam aneka dampak kenaikan harga BBM. Lagi pula, menaikkan harga BBM bukan satu-satunya cara mengurai beban subsidi.
Bahkan, kendati naik hingga 46,1%, bukan berarti semua beban akibat subsidi BBM langsung lenyap. Menurut Suhartoko, Senior Vice President Fuel Marketing Pertamina, kini harga pasar premium dan solar Rp 11.000.
Alhasil, dengan kenaikan hingga Rp 3.000 per liter sekalipun, tanggungan subsidi BBM masih sekitar Rp 69 triliun. Asumsinya kuota BBM bersubsidi sebanyak 46 juta kiloliter. Jika kuota bertambah, naik pula subsidinya.
Belum lagi lonjakan harga barang (inflasi) akibat masyarakat panik, serta menurunnya daya beli. Hitungan Juda Agung, Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Moneter BI, jika harga BBM naik Rp 2.000, inflasi bertambah 2,11%. Jika naik Rp 3.000, inflasi tambah 3,16% (lihat infografik).
Persoalan lain adalah dana kompensasi. Soal yang satu ini juga tak kalah peliknya. Maklum, jika ada, skema kompensasi kenaikan harga BBM untuk masyarakat miskin minim saja. Kini hanya tersedia kompensasi Rp 10 triliun: Rp 5 triliun APBN Perubahan 2014, dan Rp 5 triliun pada APBN 2015. Dana ini cuma cukup untuk periode November 2014-April 2015.
Mau tambah dana kompensasi? Rasanya tak mudah juga karena harus berhadapan dengan parlemen baru yang mayoritas bersikap oposan.
Siapkah pemerintah baru menghadapinya? Jika tak, hitung cermat lagi niat ini.
Tabel hitungan kenaikan BBM dan dampak inflasi
Proyeksi Bank Indonesia (BI) | Tambahan | Tambahan | Volume BBM |
BBM Naik 1.000/liter | inflasi 1%-1,5 % | - | - |
BBM naik 2.000/liter | inflasi 2,11% | GDP 0,06% | 46,1 jt kilo liter |
BBM naik 3.000/liter | inflasi 3,16% | GDP 0,15% | 45 jt kilo liter |
Proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS) | Tambahan |
BBM naik 1.000/liter | inflasi 0,38% |
BBM naik 2.000/liter | inflasi 2,5% |
BBM naik 3.000/liter | inflasi 2-3% |
Proyeksi Menteri Keuangan Chatib Basri | Tambahan |
BBM Naik Rp 1.000/liter | inflasi 1,2%-1,5% |
BBM naik Rp 2.000/liter | inflasi 3% |
BBM naik Rp 3.000/liter | inflasi 4,5% |
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News