Reporter: Grace Olivia | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Permulaan tahun 2020 tak memberi sinyal positif bagi perbaikan perekonomian global maupun domestik tahun ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memandang, besar kemungkinan situasi APBN dan perekonomian sepanjang tahun ini akan diselimuti tekanan yang sama seperti sepanjang tahun 2019 lalu.
Dalam paparannya mengenai Realisasi APBN 2019 dan Outlook Perekonomian 2020 dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI, hari ini Selasa (28/1), Sri Mulyani menjelaskan bahwa berbagai sentimen negatif global menjadi sumber tekanan utama pada penerimaan negara, terutama penerimaan perpajakan.
Baca Juga: KSSK: Stabilitas sistem keuangan Indonesia kuartal IV-2019 masih terkendali
“Penerimaan pajak jadi terpukul oleh tiga faktor utama yaitu harga ICP (minyak mentah) yang lebih rendah dari asumsi, nilai tukar rupiah yang lebih kuat dari asumsi, dan realisasi lifting minyak dan gas yang tidak mencapai target atau lebih rendah,” tuturnya.
Sementara tahun ini, pemerintah telah menetapkan asumsi dasar makroekonomi dalam APBN 2020 yang meliputi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3%, inflasi 3,1%, bunga SPN sebesar 5,4%, nilai tukar rupiah sebesar Rp 14.400 per dollar AS, harga ICP sebesar US$ 63 per barel, dan lifting minyak dan gas masing-masing 755.000 dan 1,191 juta barel per hari.
Sri Mulyani menuturkan, kenyataannya sejauh ini hampir seluruh realisasi dari asumsi dasar makroekonomi tersebut mengalami deviasi.
“Kita melihat harga minyak masih berkisar di antara US$ 50 per barel, jadi hampir US$ 10 selisihnya di bawah asumsi. Kurs kita juga di bawah kisaran Rp 14.000 sehingga sekali lagi, kita akan mengalami deviasi,” ujar Sri Mulyani.
Apalagi, arus modal asing yang masuk ke dalam pasar keuangan Indonesia (capital inflow) masih relatif kuat sampai saat ini sehingga memberi sokongan pada nilai tukar rupiah. Sementara dari sisi lifting minyak dan gas, Sri Mulyani hampir yakin asumsi dalam APBN 2020 akan kembali gagal terpenuhi seperti tahun sebelumnya lantaran kinerja eksplorasi dan penemuan sumur-sumur baru dinilai kurang menjanjikan.
“Sehingga tahun 2020 ini kita akan mendapatkan repeating situation (situasi yang berulang) di mana harga ICP dan nilai tukar, serta lifting migas akan memberikan downside risk pada pertumbuhan penerimaan perpajakan kita,” lanjut Sri Mulyani.
Baca Juga: Defisit APBN Melebar, Utang Membesar
Meski demikian, ia mengatakan bahwa APBN 2020 akan tetap mengambil peran sebagai instrumen untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap di atas 5%. Ia juga berharap bahwa pelonggaran moneter melalui penurunan suku bunga acuan dan pelonggaran makroprudensial bisa segera tertransmisikan ke perekonomian dalam bentuk pertumbuhan kredit yang lebih tinggi di tahun ini.
“Menghadapi situasi seperti ini, tema tahun ini masih akan sama di mana APBN sebagai instrumen fiskal yang dengan space yang dimiliki harus melakukan countercyclical apabila perekonomian memang membutuhkannya,” tandas Sri Mulyani.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News