Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Pemerintah harus waspada melihat harga minyak dunia yang terus menanjak sekarang ini. Sementara itu efek kenaikan harga minyak terhadap beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2014 tidak sedikit.
Saat ini harga minyak sudah mendekati level US$ 104 per barel. Memang kondisi ini masih di bawah patokan harga minyak mentah pada APBN 2014 yang mencapai US$ 105 per barel. Tapi kenaikan harga minyak ini terjadi di saat nilai mata uang garuda loyo terhadap dollar Amerika Serikat (AS).
Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengaku masih mengamati harga komoditas minyak mentah. Dirinya belum mau berkomentar banyak soal ini. "Kita lihat perkembangan ke depan," ujarnya kepada KONTAN, Selasa (4/3).
Memang Indonesia sedari dulu lebih banyak mengimpor minyak ketimbang menjualnya ke luar. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat data terbaru ekspor minyak mentah dan hasil minyak pada Januari 2014 sebesar US$ 791,2 juta. Sedangkan impor minyak mentah dan hasil minyaknya mencapai US$ 3,24 miliar. Alhasil defisitnya tinggi yaitu sebesar US$ 2,45 miliar. Ini pulalah yang kemudian membuat kinerja perdagangan Indonesia selalu loyo.
Current account deficit atawa defisit transaksi berjalan pun melebar menjadi di atas 3% dari PDB. Padahal di tahun ini pemerintah berencana menurunkannya menjadi di bawah 3%.
Hal inilah yang kemudian menjadi perhatian Bank Indonesia (BI). Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan perlu ada peningkatan produksi dalam negeri agar Indonesia tidak perlu terus lakukan impor.
Lifting minyak yang terus turun perlu diperbaiki dengan investasi kilang. Memang pembangunan kilang memakan waktu yang tidak sedikit, jangka waktunya lama. Namun harus dilakukan untuk perbaikan neraca migas. "Ini terkait kebijakan struktural," tandas Perry.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News