Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menuntut pemerintah menindak tegas perusahaan tambang nikel di Halmahera yang terbukti melakukan pengabaian dalam pengelolaan lingkungan hidup sehingga mengakibatkan bencana banjir.
Tindakan hukum yang tegas diperlukan untuk memberikan efek jera dan memastikan perusahaan tambang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang mereka sebabkan.
"Hari ini terjadi lagi banjir, untuk kesekian kalinya di Halmahera lantaran hutannya sudah rusak, beralih fungsi menjadi kawasan smelter," kata Faizal Ratuela, Direktur Walhi Maluku Utara saat dihubungi KONTAN, Selasa (13/8/2024).
Menurut dia, akibat banjir yang berulang lantaran kerusakan lingkungan yang semakin paran tersebut otomatis menimbulkan kerugian ekonomi bagi warga yang terdampak. "Awalnya, hanya empat desa yang terdampak, kini mengancam delapan desa," sebutnya.
Baca Juga: Walhi Menolak Pembukaan Tambang Pasir Laut Hasil Sedimentasi, Ini Alasannya
Sebelumnya, pada 20 Juli 2024, banjir telah merendam desa-desa di Halmahera Tengah, antara lain desa Woejerana, Woekob, Lelilef Waibulen, dan Lukolamo. Bencana ini telah menyebabkan penderitaan bagi sedikitnya 6.567 penduduk dan ribuan pekerja tambang yang tersebar di empat desa tersebut.
Banjir tidak hanya menggenangi rumah-rumah warga, tetapi juga mengganggu aktivitas ekonomi dan memutus akses transportasi. Banjir yang merendam desa-desa di Halmahera Tengah tidak lepas dari rusaknya bentang alam di bagian hulu.
Dari cataan Walhi, dalam satu dekade terakhir, hutan primer seluas 188 ribu hektare (ha) telah mengalami deforestasi seluas 26.100 ha. Deforestasi ini terutama disebabkan oleh penambangan nikel yang masif di Halmahera Tengah. Saat ini di Halmahera Tengah terdapat 24 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan luas konsesi mencapai 37.952,74 ha.
Faizal menjelaskan, akibat dari kegiatan pertambangan ini, ekosistem hutan tidak lagi berfungsi optimal dalam menahan laju air. Saat hujan dengan intensitas tinggi, air yang bercampur dengan tanah dan material logam mengalir dengan cepat ke wilayah dataran rendah dan pesisir, menyebabkan banjir yang parah.
Atas dasar itu, Walhi meminta pemerintah pusat segera melakukan moratorium industri pertambangan nikel di Maluku Utara, terutama yang masuk dalam kebijakan proyek strategis nasional. Moratorium ini diperlukan karena aktivitas pertambangan telah mengakibatkan bencana ekologi dan perampasan ruang hidup masyarakat di Maluku Utara.
Untuk mengatasi krisis ini dan mencegah bencana serupa di masa depan, Faizal bilang, diperlukan tindakan tegas dari pemerintah serta solidaritas dari seluruh lapisan masyarakat.
"Pemerintah harus segera menerapkan kebijakan yang efektif, melakukan penegakan hukum, dan memastikan bahwa kegiatan industri dilakukan dengan standar lingkungan yang tinggi," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News