Reporter: Leni Wandira | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai bahwa carbon capture storage (CCS) merupakan teknologi gagal yang justru memperparah krisis iklim.
"CCS/ CCUS adalah tekhnologi gagal yang dipakai untuk memperpanjang hidup industri bahan bakar fosil," kata Manajer Kampanye Isu Tambang dan Energi Walhi Rere Christianto kepada Kontan.co.id, Selasa (9/1).
Rere menjelaskan, CCS adalah teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon di mana karbon dioksida (CO2) dari berbagai sumber industri (PLTU batubara, PLTG, industri baja, industri migas, dll) dipisahkan, diolah, dan disimpan ke dalam lokasi penyimpanan jangka panjang.
Baca Juga: Andalkan Carbon Storage, Indonesia Berpotensi Simpan Emisi Nasional hingga 482 Tahun
"Biasanya ke dalam formasi geologi di bawah tanah. Tujuannya adalah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan dengan demikian memitigasi perubahan iklim," lanjur dia.
Namun teknologi ini sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Badan Energi Internasional/International Energy Agency (IEA) adalah tekonologi yang sepanjang sejarahnya gagal mencapai tujuannya, atau gagal memenuhi ekspektasi.
Adapun laporan dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menunjukkan bahwa dari 13 proyek CCS/CCUS “andalan, berskala besar” di seluruh dunia yang bertanggungjawab terhadap lebih dari separuh operasi CCS/CCUS hanya menghasilkan total 39 juta ton CO2 per tahun.
"Angka ini hanya sekitar 1/10.000 dari total 36 miliar ton emisi yang dibuang ke atmosfer pada tahun 2021," ungkapnya.
Baca Juga: Istilah Carbon Capture and Storage Mengemuka Setelah Debat Cawapres, Ini Artinya
Namun, kata Rere, kegagalan dan ketidakefektifan teknologi CCS ini tidak menghentikan minat pemain industri fosil untuk menggunakannya. Pasalnya teknologi ini bisa dipakai sebagi dalih operasi mereka.
Peta jalan Badan Energi Internasional menunjukkan bahwa untuk selaras dengan target menahan peningkatan suhu global di bawah 1.5C sesuai Perjanjian Paris, penggunaan bahan bakar fosil harus turun sebesar 25% pada tahun 2030, dan 80% pada tahun 2050.
Oleh karena itu, tidak boleh ada lagi proyek-proyek hulu migas baru yang akan beroperasi dalam jangka waktu lama. Begitu pula dengan pertambangan batu bara baru, perluasan tambang, atau pembangkit listrik tenaga batu bara baru.
Namun dengan menyatakan akan menerapkan teknologi CCS industri bahan bakar fosil masih akan meneruskan operasi-operasi mereka bersandar pada perhitungan-perhitungan penyerapan karbon di masa depan yang sudah terbukti gagal di masa sekarang.
"Di Indonesia sendiri Kementrian ESDM menyebut setidaknya 16 proyek CCS akan dijalankan, termasuk pada proyek-proyek gas baru seperti di Blok Masela," ujarnya.
Baca Juga: Pertamina Mulai Implementasi CCUS di Lapangan Sukowati
Menurutnya, CCS tidak lebih adalah solusi palsu dari upaya mencegah pemanasan global dan krisis iklim. Dipakai sebagai dalih oleh para pemain kongsi dagang krisis untuk bisa memperpanjang penggunaan bahan bakar fosil.
"Yang nantinya akan memenuhi atmosfer dengan emisi gas rumah kaca, dan memperburuk dampak pemanasan global dan krisis iklim," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News