Reporter: Lailatul Anisah | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai pemindahan ibukota negara ke kalimantan bukanlah penyelesaian dari permasalahan yang terjadi di Jakarta saat ini.
“Justru yang saya khawatirkan adalah hanya memindahkan permasalahan yang ada Jakarta ke Kalimantan dan bisa menambah problematika baru,” kata Manajer Kajian Hukum & Kebijakan Satrio Manggala dalam Diskusi Publik bertajuk “Pindah Ibu Kota Untuk Siapa: Mengupas Dampak Pemindahan IKN” secara daring, Minggu (24/4)
Dia menjelaskan bahwa beberapa lahan konsesi bekas pertambangan di lokasi calon ibukota masih terdapat sekitar 95 lubang tambang yang perlu di reklamasi. Bekas lubang tambang yang belum di reklamasi cukup berbahaya sehingga tidak disarankan sebagai tempat tinggal penduduk, atau kawasan usaha perkotaan.
Lebih lanjut, tentang daya dukung dan daya tampung lingkungan, khususnya soal air, Satria menyebut di kawasan calon ibukota berdasarkan dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) bahwasanya baik air permukaan dan air tanah kurang mendukung ketersediaan air bersih.
Baca Juga: Pemerintah Membahas Tindak Lanjut Larangan Ekspor Turunan CPO dan Minyak Goreng
Selain itu soal konversi lahan hutan menjadi perkotaan dapat berdampak buruk pada beberapa habitat dan satwa. “Jadi kuncinya bahwa kami menilai sebaiknya permasalahan Jakarta harus di selesaikan bukan ditinggalkan begitu saja. Keputusan menempatkan ibu kota ke Kalimantan Timur juga tanpa melalui partisipasi publik dimana UU no 3 tahun 2020 itu terbit dengan waktu pembahasan 42 hari,” tambahnya.
“Bahkan pembahasan bersama masyarakat hanya sekitar 17 hari dan itu dianggap sangat singkat untuk penetapan UU. Sehingga yang menjadi pertanyaan adalah mengapa peletakan lokasi ibu kota di Kalimantan Timur dan mengapa harus di putuskan secara terburu-buru?,” tanya Satrio.
Satrio khawatir pemindahan IKN akan merusak ekosistem mangrove yang ada di Teluk Balikpapan. Rencananya teluk tersebut akan menjadi pintu depan IKN. Dimana terdapat ekosistem mangrove dan menjadi mata pencarian sekitar kurang lebih 10 ribu nelayan.
“Itulah yang menjadi catatan dari masyarakat sipil. Dan terakhir yang paling kita khawatirkan adalah efek domino dari efek pembangunan IKN,” tutur Satrio.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News