Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Perang dagang China dengan Amerika Serikat (AS) diperkirakan masih akan berlanjut untuk jangka waktu yang lama.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun mewanti-wanti dampak persaingan geopolitik antara Amerika Serikat (AS) dan China dalam bentuk perang dagang (trade war) dan perang chip (chip war).
Sri Mulyani menyebut, persaingan tersebut telah menimbulkan fragmentasi global serta disrupsi perdagangan dan investasi. Bahkan, ia memperkirakan perang tersebut akan berlangsung hingga satu dekade atau 10 tahun ke depan.
"Persaingan dua kekuatan ekonomi dunia tersebut diperkirakan akan terus berlangsung dalam dekade mendatang yang tentu berdampak pada ekonomi nasional dan dunia," ujar Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna DPR RI, Senin (20/5).
Baca Juga: Wujudkan Indonesia Emas 20245, Sri Mulyani: Ekonomi RI Harus 6%-8%
Selain itu, kombinasi scarring effect akibat pandemi dan eskalasi konflik geopolitik seperti konflik Rusia-Ukraina dan konflik Timur Tengah menimbulkan tekanan inflasi yang persisten tinggi.
Hal ini direspons dengan kebijakan higher for longer atau kenaikan suku bunga pada level yang tinggi dan jangka waktu yang panjang.
"Ini menimbulkan kenaikan cost of borrowing dan aliran modal ke luar negeri bagi negara-negara berkembang dan emerging market dan menimbulkan tekanan nilai tukar baru," katanya.
Kendati begitu, Sri Mulyani bersyukur, di tengah berbagai guncangan yang dihadapi, ketahanan ekonomi Indonesia tetap terjaga. Dalam lima tahun sebelum Covid-19, Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara G20 yang mampu tumbuh di atas rata-rata pertumbuhan global, bersama Tiongkok dan India.
Rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2015 hingga 2019 mencapai 5,0%. Ini jauh di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia sebesar 3,4%, juga dibandingkan dengan emerging economies anggota G20 lainnya yang tumbuh rata-rata hanya di 4,9%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News