kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.914.000   -10.000   -0,52%
  • USD/IDR 16.291   14,00   0,09%
  • IDX 7.140   43,32   0,61%
  • KOMPAS100 1.026   0,52   0,05%
  • LQ45 779   2,15   0,28%
  • ISSI 234   0,17   0,07%
  • IDX30 402   1,16   0,29%
  • IDXHIDIV20 463   0,95   0,21%
  • IDX80 115   0,26   0,23%
  • IDXV30 117   0,40   0,34%
  • IDXQ30 129   -0,04   -0,03%

Utang Pemerintah Berpotensi Naik pada 2026,Rasio Penerimaan Negara Diproyeksi Melemah


Selasa, 15 Juli 2025 / 18:56 WIB
Utang Pemerintah Berpotensi Naik pada 2026,Rasio Penerimaan Negara Diproyeksi Melemah
ILUSTRASI. Pekerja beraktivitas pada proyek infrastruktur rel layang di Jakarta, Rabu (2/7/2025). Pemerintah mengusulkan pemakaian Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp 85,6 triliun untuk menutup pelebaran defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Harapannya, pembiayaan defisit tidak sepenuhnya bergantung pada penerbitan surat utang baru di pasar keuangan. (KONTAN/Cheppy A. Muchlis)


Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah diperkirakan akan menghadapi tekanan pembiayaan yang semakin besar pada tahun anggaran 2026 dan bertumpu pada utang.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menargetkan rasio utang pemerintah pada 2026 kisaran 39,66% hingga 39,73% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Target tersebut lebih tinggi dari target dalam APBN 2025 sebesar 39,43% dari PDB, meski lebih rendah dari usulan awal dalam target pemerintah dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF).

Di sisi lain, Kemenkeu menetapkan target rasio penerimaan negara terhadap PDB pada tahun 2026 berada di kisaran 11,71%-12,22%, dengan rasio perpajakan 10,08%-10,45% dan rasio PNBP 1,63%-1,76%. Angka ini lebih rendah dibandingkan target dalam APBN 2025.

"Rasio utang terhadap PDB dengan range 39,66% hingga 39,73%. Kemenkeu memastikan pengelolaan pembiayaan utang atau anggaran akan dilakukan secara kreatif, inklusif, dan risiko yang prudent, dengan indikator imbal hasil atau yield surat berharga negara (SBN) dengan kisaran 6,6% hingga 7,2%," ungkap Wakil Menteri Keuangan III Thomas Djiwandono, Senin (14/7).

Merespon target rasio utang pemerintah di 2026, Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede mengatakan, proyeksi target tersebut yang menunjukkan adanya potensi lonjakan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), seiring dengan turunnya rasio penerimaan negara dan tingginya kebutuhan belanja.

Baca Juga: Tahun 2026, Rasio Utang Pemerintah Diproyeksikan Naik Jadi 39,66%-39,73% dari PDB

“Kondisi ini menandakan bahwa pemerintah kemungkinan akan mengalami tekanan dalam pembiayaan APBN, sehingga pembiayaan melalui utang bisa semakin diandalkan untuk menutupi defisit,” ujar Josua kepada Kontan, Selasa (15/7).

Josua menambahkan, peningkatan defisit fiskal dalam Outlook APBN 2025 yang naik menjadi 2,78% dari PDB, menjadi sinyal bahwa kebijakan fiskal ekspansif akan berlanjut di 2026. Pemerintah diperkirakan akan tetap mengandalkan pembiayaan melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) guna mendukung program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), pembangunan infrastruktur, serta kebijakan energi dan pangan.

Kondisi ketidakpastian global, termasuk risiko geopolitik, perang dagang, dan potensi perlambatan ekonomi dunia juga menjadi alasan perlunya stimulus fiskal, yang secara otomatis meningkatkan kebutuhan utang negara.

Meski demikian, pemerintah tetap menjaga agar rasio utang terhadap PDB tidak melebihi batas aman 60% sesuai praktik internasional. Strategi pengelolaan utang yang prudent, fleksibel, dan oportunistik akan terus diterapkan, termasuk memperhatikan waktu dan jenis instrumen utang yang digunakan.

Penurunan Target Penerimaan Negara

Josua menilai rendahnya target rasio penerimaan negara pada 2026 disebabkan oleh empat faktor utama. Pertama, perubahan kebijakan perpajakan, termasuk pembatasan kenaikan PPN hanya untuk barang mewah dan pengalihan dividen BUMN ke Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara, mengurangi potensi setoran ke APBN.

Baca Juga: Tumbuh 9,8% YoY, Utang Luar Negeri Pemerintah Tembus US$ 209,6 Miliar Pada Mei 2025

Kedua, proyeksi harga komoditas yang cenderung moderat. Pemerintah memperkirakan harga minyak mentah Indonesia (ICP) hanya berada di kisaran USD 60–80 per barel, lebih rendah dari tahun sebelumnya, sehingga menekan penerimaan dari sektor migas dan tambang.

Ketiga, tantangan struktural global yang bisa berdampak negatif pada ekspor-impor dan penerimaan dari bea dan cukai.

“Meski pemerintah menargetkan kinerja ekspor meningkat melalui hilirisasi dan diversifikasi pasar, namun risiko ketidakpastian global tetap tinggi,” kata Josua.

Keempat, adanya pemberian insentif fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestik, seperti insentif UMKM, perumahan rakyat, dan kendaraan listrik, yang dalam jangka pendek akan menekan potensi penerimaan.

Dalam kondisi tersebut, Josua menyebut pemerintah perlu fokus pada efisiensi belanja, penguatan sistem inti perpajakan (core tax system), perbaikan administrasi pajak, serta optimalisasi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Tujuannya adalah menjaga keseimbangan antara belanja yang terus meningkat dengan kapasitas penerimaan yang terbatas.

“Kebijakan ini diharapkan akan mampu menjaga kesinambungan fiskal dan stabilitas makroekonomi dalam jangka menengah,” pungkas Josua.

Baca Juga: Risiko Global Membayangi, Swasta dan Pemerintah Mengerem Utang Luar Negeri

Selanjutnya: Bridgestone Kejar Pertumbuhan Produksi dan Penjualan Ban hingga 7% pada 2025

Menarik Dibaca: Eva Mulia Acne Set: Solusi Perawatan Kulit Berjerawat Sesuai Kebutuhan Kulitmu

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
[Intensive Workshop] AI-Driven Financial Analysis Executive Finance Mastery

[X]
×