Reporter: Bidara Pink | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Uni Eropa (UE) mengeluarkan proposal bea masuk imbalan sementara (BMIS) sebesar 8% atas produk biodiesel Indonesia. Proposal itu merupakan kelanjutan kebijakan UE untuk menghambat impor minyak kelapa sawit (CPO) dan produk turunannya dari Indonesia.
Terkait kebijakan tersebut, Kementerian Perdagangan (Kemdag) menyatakan keberatan dengan aksi UE tersebut dan kini tengah menyusun data secara komprehensif bersama seluruh pemangku kepentingan di dalam negeri.
Baca Juga: Biodiesel Indonesia Kena Bea Masuk 8%, Pemerintah Bakal Melawan Uni Eropa
Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati ikut menyayangkan aksi EU tersebut. Ia menilai tindakan EU tersebut semena-mena dan tidak etis bila dilakukan dalam hubungan kerjasama. EU juga dinilai seolah-olah menekan Indonesia dan tentunya akan berpengaruh pada performa ekspor Indonesia.
"Seharusnya saat bekerjasama yang dipentingkan adalah take and give. Nah ini Eropa menerapkan standard yang sangat tinggi. Untuk negara maju mungkin tidak masalah, tetapi kalau negara berkembang seperti Indonesia tentu bermasalah," kata Enny pada Sabtu (27/7).
Tetapi Enny tetap melihat peluang bagi Indonesia untuk menghadapi permintaan EU yang terkesan mengancam tersebut. Indonesia bisa menaikkan bargaining position.
Produk yang didatangkan Indonesia dari Eropa dinilai homogen atau relatif sama dengan yang diimpor dari Australia. Bila EU bisa seolah mengancam Indonesia dengan menerapkan BMIS sebesar 8%, Indonesia juga bisa membalas ancaman tersebut dengan tidak akan pernah mengimpor daging, susu, dan lain-lain karena sudah mendapat dari Australia.
Baca Juga: Pemerintah protes keras ke Uni Eropa terkait pengenaan bea masuk imbalan biodiesel
Bila bargaining position tidak bisa, menurut Enny, Indonesia mau tak mau harus melakukan skenario kedua, yaitu berhenti melakukan ekspor komoditas ke Eropa dan beralih ke negara lain. Langkah awal yang bisa dilakukan Indonesia adalah mulai menggalakkan hilirisasi.
"Mengapa Indonesia selalu menjagokan pasar Eropa dan Amerika? Karean kita yang memiliki komoditas dan mereka yang punya industri," tegas Enny.
Poin Enny adalah, bila Indonesia mampu melakukan hilirisasi, Indonesia tidak akan bergantung pada pasar tradisional. Bahkan Indonesia bisa membuka pasar yang lebih luas untuk ekspor seperti mulai merambah ke Afrika, menambah ke Amerika Latin, bahkan ke Timur Tengah.
Baca Juga: Ini langkah pemerintah untuk melawan penerapan bea masuk biodiesel di Uni Eropa
Dalam masalah ini, kepala Ekonom BCA David Sumual menilai keputusan EU ini dari sudut pandang yang lain. Menurut David, aksi EU ini juga didorong oleh peraturan undang-undang soal lingkungan yang makin cepat. Selain itu, mungkin ini adalah desakan dari partai hijau di Eropa yang memang relatif memiliki banyak suara di parlemen.
Walau begitu, David tetap yakin Indonesia memiliki peluang untuk bisa bernegosiasi dengan EU. David mengimbau Indonesia melakukan lobi dan sosialisasi tentang biodiesel ini.
Bila lobi dan sosialisasi tersebut tidak berhesil, menurutnya masih ada jalan bagi ekspor biodiesel Indonesia.
Baca Juga: Bakal oversupply 11 tahun lagi, diversifikasi penggunaan CPO kian urgen
"Memang pasar Eropa ini realtif lumayan. Tapi, kalau keadaannya seperti ini Indonesia bisa ambil alternatif diversifikasi ekspor ke India dan Cina. Dua negara ini masih bisa diperhitungkan," tambah David.
Selain melakukan diversifikasi ekspor, David juga menyarankan Indonesia bisa memperkuat penggunaan domestik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News