Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA Uni Eropa resmi melarang impor atau embargo 90% minyak mentah Rusia ke kawasan tersebut. Alhasil, harga minyak mentah global pun melonjak tajam.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, tren kenaikan harga minyak mentah global ini berdampak pada perekonomian Indonesia.
Pemerintah saat ini masih menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai peredam gejolak peningkatan harga komoditas, termasuk minyak mentah, agar daya beli masyarakat terjaga.
Hal ini terefleksi dari kebijakan pemerintah menahan harga pertalite agar tetap sebesar Rp 7.650 dan menjadikan pertalite sebagai bahan bakar minyak (BBM) penugasan.
Selain itu, anggaran subsidi energi ditingkatkan melalui penambahan subsidi sebesar Rp 74,9 triliun dan penambahan kompensasi untuk Pertamina dan PLN sebesar Rp 216,1 triliun.
Baca Juga: Soal Pembatasan Pembelian Pertalite, Begini Catatan Pengamat
“Dengan demikian, dampak peningkatan harga minyak mentah dunia di tingkat global akan relatif berkurang dan inflasi domestik menjadi lebih terkendali,” ujar Josua kepada Kontan.co.id, Jumat (3/6).
Namun Josua bilang, kebijakan yang diambil oleh pemerintah juga bukan tanpa resiko. Harga minyak mentah dunia saat ini masih cenderung bertahan tinggi, di mana harga minyak mentah empat mencapai US$ 117,1 per barel.
Sehingga rata-rata secara year to date (ytd) hingga 2 Juni juga sudah di atas asumsi Indonesian Crude Price (ICP) yang sebesar US$ 100 per barel yakni mencapai US$ 102,5.
“Jika harga minyak mentah bertahan tinggi hingga akhir tahun, maka realisasi anggaran subsidi dan kompensasi berpotensi menjadi lebih besar lagi, dan pada akhirnya berpotensi memperlebar defisit fiskal pemerintah,” kata Josua.
Selain itu, menurutnya pemerintah juga harus memperhitungkan efek peningkatan volume konsumsi pertalite akibat disparitas harga yang tinggi. Selain dampaknya terhadap anggaran, dengan harga pertalite tidak berubah maka konsumsi BBM secara keseluruhan juga berpotensi meningkat, karena tidak adanya disinsentif untuk konsumsi BBM.
Baca Juga: Harga BBM RON 90, Setara Pertalite di SPBU Telah Tembus Rp 14.000 per Liter
Sehingga pada akhirnya hal ini akan berpotensi meningkatkan impor BBM dan mengurangi surplus transaksi berjalan yang diraih pada Kuartal I-2022.
“Kami menilai kebijakan subsidi barang langsung seperti skema BBM subsidi saat ini cenderung tidak efisien dan kemungkinan salah sasarannya menjadi besar,” tuturnya.
Untuk kedepannya, Josua menyarankan pemerintah untuk mempertimbangkan memberikan subsidi langsung kepada masyarakat, dibandingkan harus melalui skema subsidi barang langsung seperti saat ini. Tidak hanya itu, pemerintah juga harus mempersiapkan infrastruktur agar subsidi dapat lebih tepat sasaran.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News