Reporter: Galvan Yudistira, Herry Prasetyo, Tedy Gumilar | Editor: Tri Adi
Daftar pialang berjangka yang bermasalah seolah tak pernah habis. Persoalannya hampir seragam; nasabah tidak bisa melakukan penarikan dana (withdrawal) dari rekening terpisah (segregated account). Ada kecurigaan dana nasabah digunakan oleh orang dalam perusahaan tanpa persetujuan nasabah dan tidak sesuai ketentuan.
Yang paling anyar adalah persoalan yang membelit Soegee Futures. Menurut Kepala Biro Hukum Bappebti Sri Hariyati, laporan dari nasabah masuk pada Oktober 2014. Dana nasabah tersebut di Soegee lebih dari Rp 1 miliar. Setelah mendapat laporan, otoritas tidak serta-merta membekukan kegiatan usaha Soegee namun didahului dengan peringatan agar pialang melakukan langkah perbaikan. “Setelah kami bekukan 16 Februari 2015, tanggal 17 Februari nasabah menyampaikan laporan kepada kami bahwa dananya
sudah kembali,” ujar Sri.
Meski begitu, kegiatan usaha Soegee tak langsung dicairkan. Pasalnya, sebelum dibekukan, ternyata beberapa nasabah Soegee yang lain juga menyampaikan laporan soal pialang tersebut ke otoritas. Sri tak bersedia menjelaskan identitas pelapor dan apa isi laporannya. Yang jelas, laporannya tidak terkait dengan withdrawal. “Intinya, ada marketing menawarkan produk yang memang seharusnya tidak ditawarkan kepada nasabah,” kata Sri.
Pembekuan tidak berlangsung lama. Setelah 10 hari, tepatnya pada 26 Februari 2015, Bappebti mencairkan pembekuan kegiatan usaha Soegee. Sebelumnya Sri memang menyebut pembekuan kegiatan usaha Soegee akan dicabut jika mereka melakukan perbaikan.
Sayangnya, tak seorang pun manajemen Soegee Futures yang bersedia diwawancarai terkait masalah yang dihadapi perusahaan. KONTAN sudah mendatangi kantor Soegee di Sona Topas Tower, Jl. Jendral Sudirman, Jakarta, untuk meminta wawancara. Namun,
tak satu pun direksi Soegee yang menanggapi.
Direktur Jakarta Futures Exchange (JFX) Bihar Sakti Wibowo menyatakan, ketika nasabah tidak bisa menarik dananya, bisa jadi karena dana milik nasabah tersebut sejak awal memang tidak disetorkan ke segregated account. Hal ini biasanya terjadi karena nasabah menitipkan uang tersebut ke orang perusahaan pialang, misalnya marketing untuk disetorkan ke rekening terpisah.
Modus kedua, ketika nasabah tidak bisa menarik dananya, bisa jadi uang tersebut sudah masuk ke segregated account. Namun, dana itu malah disalahgunakan sehingga tidak bisa diambil oleh nasabah. Lantas, siapa yang berpotensi menyalahgunakan dana yang sudah masuk ke segregated account? “Pasti jajaran direksi atau BOD,” tegas Bihar.
Tumpukan kasus lama belum tuntas
Jika terhadap masalah Soegee Bappebti bertindak cepat, lain halnya dengan kasus yang membelit Axo, Rex, dan Danagraha. Setelah bertahun-tahun, kasus ketiga pialang berjangka itu tak juga tuntas.
Danagraha, misalnya, sudah bermasalah sejak awal November 2011 silam. Nasabah tak bisa lagi bertransaksi dan dana juga tidak bisa ditarik. Alhasil, uang milik lebih dari 700 nasabah Danagraha raib dengan nilai kerugian lebih dari
US$ 100 juta.
Danagraha beralasan, dana nasabah tak bisa ditarik lantaran broker yang menangani transaksi di bursa luar negeri, yakni MF Global, bangkrut. Belakangan, Sri mengaku Bappebti tidak pernah memberikan persetujuan kepada Danagraha untuk melakukan Penyaluran Amanat Luar Negeri (PALN).
Kasus ini lama tersimpan apik di “lemari es” Bappebti hingga otoritas tersebut mengeluarkan rilis pembekuan kegiatan usaha Danagraha pada 10 Februari 2015. Alasan yang disampaikan Bappebti, Danagraha tidak memenuhi ketentuan Modal Bersih Disesuaikan dan Ekuitas (MBDE) sebesar Rp 25 miliar. “Memang bisa langsung dilakukan pencabutan, tapi kami memandang ini dibekukan dulu,” kata Sri.
Jumat, 20 Februari 2015, Bappebti memanggil manajemen Danagraha. Namun, mereka tidak hadir dengan alasan sedang di luar kota. Bappebti, kata Sri, tengah menyusun jadwal pemanggilan baru.
Meski mulai bersikap, kebijakan Bappebti ini mengundang tanya. Selama ini kasus Danagraha memang terkesan dipendam. “Kalau sejak tiga tahun lalu Bappebti memproses pidananya, masih banyak aset Danagraha yang bisa diselamatkan,” keluh Roni Pandiangan, pengacara yang mewakili 22 nasabah Danagraha.
Lantaran sikap Bappebti yang tidak gesit itulah, para nasabah Danagraha melapor ke Polda Metro Jaya pada Maret 2012. Saat itu, berdasarkan catatan KONTAN, penyidik Subdit II Fismondev Dit Reskrimsus menemukan tindak pidana di bidang perdagangan berjangka komoditi sesuai dengan UU No. 10 tahun 2011 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi.
Namun, pada 20 September 2012, penyidik polda melimpahkan kelanjutan penyidikan ke Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bappebti. Sayangnya, tidak ada tindak lanjut dari pelimpahan tersebut.
Sri berkilah, penyidik Bappebti sejatinya telah melakukan penyidikan menyusul pelimpahan kasus tersebut. Namun, di tengah perjalanan, yakni pada pada Februari 2012, majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengesahkan Penundaan Pembayaran Kewajiban Utang (PKPU) yang diajukan manajemen Danagraha. “Badan pengawas diberikan kewenangan untuk mendahulukan penyelesaian perdata,” kilah Sri.
Keputusan Bappebti itu membuat berang para nasabah. Menurut pengacara Roni, proses hukum pidana di Bappebti harusnya bisa berjalan beriringan dengan proses perdata.
Dus, Bappebti yang bersikukuh menghentikan penyidikan pun digugat oleh nasabah Danagraha pada 11 April 2013 ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selain Bappebti, nasabah yang diwakili Roni juga menggugat Irjen Kementerian Perdagangan, Kemendag, dan Dirut Danagraha Herdi Sentosa.
Dalam gugatannya, nasabah meminta hakim agar memerintahkan Bappebti meneruskan penyidikan kasus Danagraha. Sebanyak 22 nasabah itu juga meminta dana mereka sebesar US$ 1,247 juta dikembalikan.
Singkat cerita, majelis hakim tidak mengabulkan gugatan tersebut. Merasa janggal, nasabah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Bersamaan dengan itu, salah seorang nasabah, Robert Diapari, mengadukan majelis hakim ke Komisi Yudisial (KY). Keputusan
KY yang keluar akhir 2014 menyebut hakim terbukti tidak profesional dalam mengadili kasus tersebut.
Selang seminggu dari keputusan KY, hakim pengadilan tinggi mengeluarkan putusan yang menguatkan PN Jakarta Pusat. Pada Desember 2014, nasabah Danagraha pun mengajukan memori kasasi ke Mahkamah Agung. “Aneh, oleh KY sudah diputuskan hakim pengadilan negeri tidak profesional tapi keputusan banding malah menguatkan putusan sebelumnya itu,” kata Roni.
KONTAN sudah menghubungi kantor pengacara SIP Law Firm yang mewakili Danagraha. Namun, surat resmi yang dikirimkan KONTAN atas permintaan mereka malah tidak direspon.
Menempuh segala cara untuk menarik dana
Kekecewaan terhadap Bappebti juga dirasakan nasabah Rex Futures. Usaha mereka mencari keadilan lewat Bappebti belum berbuah hasil. “Sampai sekarang, sudah lebih dari 30 kali kami ke Bappebti,” keluh Agung Sabarkah.
Dua nasabah Rex yang lain, Achmad Amir dan Michkael Martin Haris, malah sudah melaporkan dugaan penipuan, penggelapan, dan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan Yanuar Norman Haris, Dirut Rex Capital Futures, ke Polda Metro Jaya. Laporan bernomor TBL/3762/X/2014/PMJ/Dit Reskrimsus itu tertanggal 16 Oktober 2014.
Total kerugian yang diderita ketiganya mencapai Rp 5,097 miliar, termasuk dana yang disetorkan ke rekening unsegregated account Rex Futures. Selain mereka bertiga, ada 29 nasabah lagi yang juga dirugikan oleh aksi Rex. Total ke-32 nasabah mengklaim, kerugian sebesar Rp 10,5 miliar.
Para nasabah ini tidak bisa menarik dana di segregated account Rex Futures sejak Desember 2013. Namun, belakangan terungkap, pelanggaran yang dilakukan Rex tak cuma terkait penggelapan dana nasabah. Sebagian transaksi trader ternyata tidak tercatat di Kliring Berjangka Indonesia (KBI). Ambil contoh, dari transaksi yang dilakukan seorang nasabah sebesar Rp 500 juta, yang tercatat di KBI ternyata cuma Rp 50 juta.
Sejatinya, Bappebti pernah menggelar mediasi pertemuan nasabah dengan Dirut Rex Capital Futures Yanuar Norman Haris pada 22 Juli 2014. Saat itu, Yanuar berjanji akan menyelesaikan masalah withdrawal para nasabah paling lambat seminggu setelah pertemuan tersebut. Namun, janji itu tak pernah ditepati.
Lantaran tak juga ada itikad baik dari Yanuar dan dua komisaris Rex; William Samuel Wijnberg dan Silvia Kusumaningrum, Bappebti membekukan kegiatan usaha Rex Capital Futures pada 19 Agustus 2014. Puncaknya, pada 20 November 2014, Kepala Bappebti, Sutriono Edi, mencabut izin usaha Rex.
Sejak izin usahanya dicabut Bappebti, keberadaan kantor Rex dan manajemennya tak lagi diketahui. Kantor pusat Rex di Surabaya telah diambil alih pengelola gedung. Nomor telepon seluler Yanuar juga tak lagi aktif. Pencabutan izin usaha Rex ini disesalkan para nasabah. “Penyelesaian ganti rugi lebih sulit karena direksi dan komisaris Rex jadi sulit dihubungi,” kata Amir.
Namun, protes ini ditampik Kepala Biro Hukum Bappebti Sri Hariyati. Menurutnya, pembekuan dan pencabutan izin usaha pialang berjangka merupakan bagian dari pengawasan yang dilakukan oleh Bappebti. “Ini bagus untuk nasabah karena tidak hilang haknya. Secara keperdataan mereka bisa menuntut manajemen ke pengadilan,” kata Sri.
Sri menyebut, setelah izin usaha Rex dicabut, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) Bappebti melakukan penyidikan dugaan pidana yang dilakukan oleh manajemen Rex. Namun, ia menolak menyampaikan apa saja hasil penyidikan yang telah dilakukan.
Rio Yuszarro, Legal & Membership Division Head Jakarta Futures Exchange, menyebut, aset Rex di industri berjangka dan komoditi telah dibagikan kepada 32 nasabah pada 30 Januari 2015. Nilainya hanya Rp 800 juta, masing-masing nasabah secara proporsional mendapat 7,8% dari klaim kerugian yang diajukan.
Asal tahu saja, aset pialang di industri berjangka dan komoditi terdiri dari uang jaminan yang disetorkan perusahaan pialang berjangka sebesar Rp 1 miliar. Selain itu, ada hak kursi sebagai anggota bursa yang jika dirupiahkan senilai Rp 300 juta.
Namun “uang kursi” ini baru bisa dibagikan ke nasabah jika ada pialang calon anggota bursa yang membeli seat tersebut. “Dari uang jaminan Rp 1 miliar, Rp 200 juta di antaranya disetorkan sebagai PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) dan Rp 800 juta lagi dibagikan ke nasabah yang mengajukan klaim,” tukas Rio.
Namun, nasabah Rex tak puas dengan pengembalian dana yang tidak seberapa itu. Mereka menuntut Bappebti mencairkan dana kompensasi yang merupakan setoran wajib pialang berjangka. “Kalau dana kompensasinya tidak sama dengan nilai kerugian, kami akan tuntut Bappebti,” ancam Amir.
Soal dana kompensasi ini, Sri menyebut, Kepala Bappebti akan mengeluarkan surat keputusan pada awal Maret 2015. Namun, ia menolak menyebut besaran dana kompensasi yang akan diberikan kepada para nasabah.
Kelemahan otoritas di perdagangan berjangka dan komoditi berikutnya tecermin dari kasus Axo Capital Futures. Kepala Divisi Audit dan Pengawasan JFX Rachmat Achritsa menuturkan, April 2012, pihaknya mendapat pengaduan soal indikasi pelanggaran Axo. Singkat cerita, atas rekomendasi JFX, Axo lantas memperbaiki diri.
Namun, pada 2013, kembali masuk aduan dari nasabah yang tidak bisa melakukan withdrawal. JFX lantas melakukan audit khusus. Hasilnya, Axo kembali melakukan pelanggaran yang sama. JFX lantas membekukan keanggotaan Axo pada Juni 2013. “Banyak sekali transaksi nasabah Axo yang tidak dilaporkan ke kami,” ujarnya.
Ada dugaan, transaksi nasabah yang tidak dilaporkan tersebut dimainkan sendiri oleh Axo. Perusahaan pialang tersebut menjadi bandar sehingga trader selalu dibuat rugi. Cuma, karena transaksinya tidak dilaporkan, JFX tak bisa mengetahui secara persis berapa banyak nasabah Axo.
Anehnya, setelah izin Axo dicabut pada November 2014, cuma ada lima nasabah yang mengajukan klaim kerugian ke JFX. Total klaim yang diajukan sekitar Rp 2 miliar. Padahal, otoritas bursa itu sudah mengumumkan di media nasional. “Nasabah yang melapor di luar perkiraan karena kami pikir akan banyak laporan yang masuk,” kata Rio.
Sama seperti penyelesaian dana nasabah Rex, otoritas bursa juga akan mencairkan aset Axo di industri berjangka. Nilainya sebesar Rp 800 juta dan akan dibagikan kepada lima nasabah yang mengajukan klaim. Menurut Sri, pengumuman pencairan dana ini akan dilakukan awal Maret 2015.
Pada 24 Februari 2015 lalu, KONTAN menyambangi kantor Axo di Menara Imperium, Jakarta Selatan. Menurut keterangan Mari, salah satu pengelola Perhimpunan Penghuni Menara Imperium (PPMI), PT Axo Capital Futures menghilang tanpa jejak dan tidak bisa dihubungi sejak Desember 2014. “Awal tahun ini, kami juga sempat menghubungi manajemen Axo tapi tidak berhasil. Mereka masih belum membayar uang sewa lantai 12,” ujar Mari.
Tanpa aturan perlindungan nasabah dan penegakan hukum yang memadai, perdagangan derivatif ibarat kasino liar.
Laporan Utama
Kontan No. 23-XIX, 2015
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News