Reporter: Fahriyadi, Risky Widia Puspitasari | Editor: Uji Agung Santosa
JAKARTA. Kabar baik bagi maskapai penerbangan, namun kabar buruk bagi para pengguna transportasi pesawat udara. Kementerian Perhubungan (Kemhub) mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) No 2/2014 tentang Besaran Biaya Tambahan Tarif Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri.
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemhub, Herry Bakti S. Gumay, menjelaskan, beleid ini bukanlah sebagai payung hukum bagi maskapai untuk mengerek tarif penerbangan. Tapi, ini adalah tambahan biaya (surcharge) akibat kenaikan harga avtur dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Aturan ini akan berlaku mulai awal Maret 2014. Pengguna jasa angkutan udara yang telah membeli tiket pesawat sebelum awal Maret tak akan dikenai tambahan biaya ini.
Besaran surcharge ini terbagi menjadi dua bagian, yakni untuk pesawat jenis jet, dan pesawat jenis propeler (lihat tabel).
Setiap penumpang pesawat terbang jet dengan jarak rute rata-rata 664 km, dikenai surcharge Rp 60.000 untuk jam pertama, dan jam kedua sebesar Rp 60.000 dikalikan dengan 0,95. Untuk jam ketiga sebesar Rp 60.000 dikalikan dengan 0,90.
Adapun sucharge untuk penumpang pesawat jenis propeler adalah Rp 50.000 pada jam pertama dengan rata-rata jarak 348 km. Pada jam kedua besaran surcharge dikalikan 0,90, dan pada jam ketiga dikalikan 0,85.
Asal tahu saja, pengenaan biaya tambahan ini belum termasuk pajak. "Sama seperti tarif batas atas yang juga belum termasuk Pajak Pertambahan Nilai," tandas Herry, Kamis (13/2).
Aturan tentang surcharge ini berlaku 14 hari setelah terbitnya peraturan menteri tersebut. Kemhub telah memasukkan aturan ini ke Kementerian Hukum dan HAM dan dicatatkan dalam lembaran negara.
Herry juga mengingatkan maskapai udara agar tak mengelabui konsumen yang sudah membeli tiket sebelum aturan ini berlaku. Maskapai juga wajib mencantumkan seluruh biaya tambahan dalam tiket secara jelas.
Direktur Utama PT Citilink Indonesia, Arif Wibowo menyambut baik keputusan ini. Sebab, sejak nilai dollar AS menembus Rp 12.000, biaya operasional maskapai melonjak tinggi. "Perusahaan maskapai seperti kami ingin agar ada fleksibilitas menentukan harga, sesuai mekanisme pasar, jika terjadi gejolak ekonomi," katanya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News