Reporter: Hans Henricus, Martina Prianti | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Masalah administrasi perjanjian utang luar negeri (loan agreement) yang amburadul akan menyeret Bank Indonesia (BI). Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bidang Pencegahan Haryono Umar menyatakan akan meminta penjelasan dari bank sentral.
Menurut Haryono, KPK juga membutuhkan penjelasan BI karena ada perbedaan dalam pencatatan nilai pinjaman luar negeri dari total 2.214 perjanjian pinjaman itu. "Catatan nilai pinjaman antara Depkeu, Bappenas, dan BI besarnya berbeda, makanya KPK akan meminta klarifikasi dari BI juga," katanya, Sabtu (22/2).
Selain itu, KPK juga akan meminta keterangan dari lembaga donor seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), Japan Bank for International Cooperation (JBIC), dan International Bank for Reconstruction and Development (IBRD). "Kami akan mempertanyakan komitmen pinjaman mereka dan melihat data mereka. Ini penting supaya jangan sampai ada pengeluaran negara yang tidak jelas," katanya
Rencananya, mulai pekan ini, KPK akan mulai menyambangi Depkeu, Bappenas, dan BI untuk memperoleh klarifikasi. "Kami harapkan masing-masing pihak bekerjasama," pintanya.
Seperti diberitakan KONTAN sebelumnya, dalam pertemuan KPK dan BPK pekan lalu terungkap bahwa menurut hasil audit BPK, sekitar 500 dari 2.214 perjanjian utang luar negeri yang diteken pemerintah bersama sejumlah lembaga donor telah raib. Berdasarkan catatan BPK, hingga 25 Juli 2008 , terdapat 2.214 perjanjian utang senilai Rp 917,06 triliun.
Direktur Perencanaan Strategis dan Hubungan Masyarakat BI Dyah Nastiti mengatakan, lembaganya tidak keberatan memenuhi keinginan KPK. "Ya, pastinya bisa saja KPK minta keterangan karena itu hak mereka," ujarnya.
Dyah mengakui BI, Depkeu, dan Bappenas memiliki pencatatan pinjaman luar negeri yang berbeda. Namun, menurutnya perbedaan itu ada semata karena perbedaan metode. " Itu bukan hal yang baru kok, hanya karena perbedaan timing saja," tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News