Reporter: Dadan M. Ramdan | Editor: Dadan M. Ramdan
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah Kabupaten Garut, Jawa Barat, langsung bergerak cepat setelah mendapat informasi sejumlah warga asal kota dodol itu tertahan hingga dua bulan akibat terdampak pandemi virus corona di wilayah Papua. Warga Garut tersebut tidak bisa keluar dari tanah cenderawasih ini akibat penutupan bandara, sehingga tidak ada penerbangan sipil untuk penumpang.
Humas Tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Kabupaten Garut, H Muksin mengatakan, pihaknya telah menjalin komunikasi dengan warga Garut yang hingga saat ini sudah terdata sebanyak 19 orang. Adapun Pemkab Garut menyatakan siap memfasilitasi semua keperluan dan kebutuhan untuk pemulangan warga tersebut.
"Kami telah menjalin komunikasi dengan warga Garut yang ada di Papua yang dikoordinasikan oleh pak Asep Kuswara. Untuk sementara kami sudah menerima data orang Garut di Papua sebanyak 19 orang. Kami juga terus memantau kondisi mereka melalui pak Asep agar segera menginformasikan jika bandara dibuka dan mereka sudah bisa meninggalkan Papua," katanya kepada KONTAN, Minggu (1/6/2020).
Muksin menjelaskan, Pemkab Garut yang dikoordinasikan oleh Dinas Sosial sudah menyiapkan anggaran untuk keperluan tiket pesawat dan transportasi dari bandara ke rumah masing-masing. "Intinya saat ini kami menunggu kondisi di Papua apabila sudah siap untuk kepulangan pak Asep dkk, maka akan kami tindaklanjuti agar dapat berjalan sebagaimana mestinya," janji dia.
Menurut Muksin, komunikasi terakhir dengan warga di Papua diketahui masih menunggu perkembangan selanjutnya karena belum ada kepastian kapan bisa meninggalkan Papua. "Katanya masih belum ada kepastian kapan bisa meninggalkan Papua. Kami berharap mereka bisa segera pulang. Kami juga prihatin apalagi misalnya harus tidur desak-desakan dalam kelambu nyamuk yang terbatas," sebutnya.
Setelah warga yang dipulangkan dari Papua tiba di Garut, Muksin menambahkan, proses selanjutnya akan mengikuti Protokol Kesehatan Covid-19 untuk mencegah hal yang tidak diinginkan.
Sementara itu, Asep Koswara salah satu warga yang sudah lebih dari dua bulan terdampar di Papua sangat mengapresiasi langkah Pemkab Garut yang bakal memfasilitasi pemulangan. "Kami ingin secepatnya pulang kalau bandara sudah dibuka. Selain tidak ada aktivitas pekerjaan, yang paling kami khawatirkan itu adalah serangan nyamuk malaria. Sudah ada rekan kami yang terkena. Saat ini kondisinya mulai baikan meski masih lemas, tapi khawatir bisa terserang malaria lagi kalau kondisi stres karena lama ngak bisa pulang," akunya.
Sebelumnya, Asep bersama empat warga Garut berangkat ke Papua pada 2 Maret 2020 lalu, untuk mengerjakan pembangunan kandang ayam petelur. Pekerjaan borongan tersebut selesai dalam waktu 50 hari berikutnya. Nahas, ketika hendak pulang ke Jawa, bandara di Papu tutup menyusul pemberlakuan lockdown seiring merebaknya penularan virus corona. Hingga saat ini, Pemda Papua masih menutup akses bandara untuk penebangan sipil.
Selama tertahan di Papua, Asep dan rekannya bertahan hidup dengan sisa uang hasil pekerjaan tersebut. Namun, lama-kelamaan bekal terus menipis karena belum mendapat bantuan sosial. "Sekarang, bantuan sudah ada salah satunya dari Paguyuban Sunda di Papua," ungkap Asep.
Nunggak kontrakan
Sejatinya, masih banyak warga Garut lainnya di Papua yang nasibnya cukup memprihatinkan akibat pandemi Covid-19. Pasalnya, aktivitas usaha mereka praktis terhenti. Umumnya, warga perantauan ini meminta segera dipulangkan dari Papua. "Sudah dua bulan nunggak kontrakan. Biaya kontrakannya satu juta per bulan," ujar Dede Supriatna, warga Kampung Cijaringao, Sukajaya, Sukaresmi.
Pria yang telah berkeluarga ini berangkat ke Papua pada 28 Februari 2020 dan tinggal di Abepura. "Saya baru pertama kali ke Papua atas kemauan sendiri, engak ada yang ngajak," jelas Dede. Adapun pertimbangannya nekat meratau demi mengubah nasib. "Karena kondisi di kampung lebih susah. Ya, ingin perbaikan nasib lah," kata pria yang berprofesi jualan wallpaper ini.
Dede berharap, bantuan dari Pemda Garut, termasuk untuk kepulangannya karena sudah tak mampu lagi bertahan hidup di Papua lantaran tidak ada penghasilan. Sementara di kampung halaman meninggalkan anak dan istri yang harus dinafkahi. "Bantuan dari pemeritah Papua belum turun tapi sudah didata. Kemarin, baru ada bantuan sembako dari Paguyuban Sunda," bebernya.
Setali tiga uang. Mariam, warga Kampung Cijeler, Lewigoong juga sangat berharap bisa kembali bertemu dengan keluarga besarnya di Garut. "Saya bersama suami berjuang di sini (Papua). Sekarang kondisinya berat karena enggak bisa usaha. Tidak bisa jualan karena dibatasi sampe jam dua siang, sedangkan saya jualan keliling door to door. Sudah tidak ada respon dari pembeli. Sedih kalau diceritakan mah. Saya jualan juga pernah diusir karena dianggap melanggar pelaturan pemerintah. Udah tahu suruh diam di rumah tapi tetap keluyuran gitu," tutur penjual kacamata baca itu.
Bagi Marian, tinggal di rumah selama berbulan-bulan sungguh dilemartis, sedangkan kebutuhan sehari-hari seperti makan tidak bisa berhenti. Belum lagi tunggakan kontrakan. "Sudah dua bulan belum bayar kontrakan. Makan juga di sini bareng-bareng biar hemat dengan warga asal Garut lainnya yang lokasi kontrakan masih berdekatan di wilayah Abepura," terangnya.
Menurut Mariam, selain warga Garut, ada beberapa warga ber-KTP Purwakarta yang juga ingin balik ke tempat asalnya. "Saya ini juga tinggal di kontrakan dengan lima ade ipar tapi KTP Purwakarta. Kondisinya juga sama, sehingga sudah tidak sanggup lagi bertahan di Papua. Kalau bisa bisa ikut pulang dengan rombongan Garut," pintanya.
"Saya, Maman Sulaeman dari Purwakarta. Ingin pulang juga tapi bingung harus bagaimana. Sudah enggak bisa jualan sekarang," demikian isi pesan yang diterima KONTAN via WhatsApp. Maman pun berharap ada pihak yang mau membantu kepulangannya ke Purwakarta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News