Reporter: Edy Can | Editor: Edy Can
JAKARTA. Pemerintah menunda eksekusi hukuman mati terhadap Mary Jane Veloso, warga negara Filipina yang tertangkap tangan membawa heroin seberat 2 kilogram. Seorang penyidik Badan Narkotika Nasional (BNN) menyatakan bukti-bukti kasus Mary Jane cukup kuat. Namun, apakah warga negara Filipina tersebut layak mendapatkan hukuman mati ini menjadi pertanyaan.
Penyidikl BNN Ade Jun Panjaitan mengatakan, dari kaca penyidikan, Mary Jane telah terbukti bersalah karena melanggar pasal 112 ayat 2, pasal 113 ayat 2 dan pasal 114 ayat 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Unsur yang terpenuhi yakni membawa atau menguasai, mengimpor dan menjadi perantara jual beli narkotika.
Seperti diketahui, Mary Jane ditangkap sewaktu mendarat di Bandara Adi Sujipto, Yogyakarta, yang lepas landas dari Malaysia pda 25 April 2010 lalu. Dia ditangkap petugas Bea Cukai sewaktu membawa koper berisi 2 kilogram heroin. “(Unsur) mengimpor, bisa terpenuhi karena memang dia yang membawa dari Malaysia ke Indonesia meski harus dibuktikan kesadaran dan niat dia melakukan dari bukti CDR dan SMS dari handphone miliknya, serta riwayat perjalanan di pasport,” kata Jun yang sempat menemui Mary Jane di Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan, Yogyakarta saat mendampingi dua personel Phillipines’s Drug Enforcement Agency (PDEA) pada 31 Maret 2015 lalu.
Menurutnya, unsur perantara jual beli mungkin juga terpenuhi apabila penyidik, jaksa dan hakim bisa membuktikan bahwa uang US$ 500 yang dikantongi Mary Jane merupakan upah dalam proses jual beli yang dimaksud pasal 114. “Jadi, 100% saya yakin bahwa MJ memang bersalah,” kata Jun.
Ancaman hukuman maksimal atas pelanggaran pasal itu adalah hukuman mati. Namun, bila melihat barang bukti dan petunjuk yang ada, Jun tak yakin Mary Jane layak dihukum mati. Menurut analisanya, Mary Jane bukan pengedar melainkan innocent courrier. “Mengantongi uang US$ 500 dan tidak menemukan bukti transfer uang melalui atm, buku tabungan atau sejenisnya, terlalu kecil lah uang itu untuk sekelas pengedar heroin 2 kg,” kata Jun yang pernah menangani kasus terpidana mati Sylvestre Obiekwe Nwaolise alias Mustofa.
Dari proses pengadilan, Jun juga menemukan ada celah yakni kesalahan penerjemahan bahasa. Akibat kesalahan itu, Mary Jane mengakui dirinya tidak menyesal dan sadar telah menjadi bagian dalam jaringan peredaran gelap narkotika internasional. Penyebabnya karena Kedutaan Besar Filipina tidak menyediakan penerjemah dan pengacara yang kompeten selama proses penyidikan hingga penjatuhan vonis kepada Mary Jane.
Karena itu, ketika Kejaksaan Agung menunda eksekusi hukuman mati terhadap Mary Jane, Jun menganggapnya itu sebagai sebuah keajaiban. “Seketika bulu kuduk ini merinding sewaktu membaca berita online melalui ponsel : Eksekusi Mary Jane Ditunda. Dan Puji Tuhan adalah kata pertama yang langsung terucap,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News