Reporter: Fahriyadi | Editor: Fahriyadi .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejak 2015, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah melaksanakan Program Sejuta Rumah guna mengatasi backlog perumahan. Adapun, realisasi program itu sejak 2015 hingga 2022 mencapai 7,99 juta unit rumah, atau rata-rata hampir mendekati 1 juta unit rumah per tahun.
Meskipun realisasi program sejuta rumah (PSR) dapat dicapai, namun angka backlog masih tinggi. Menurut angka Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2021, angka backlog mencapai 12,71 juta rumah, yang menandakan bahwa PSR belum cukup untuk mempercepat pengurangan angka backlog.
Menurut Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), diperkirakan angka backlog dapat selesai pada tahun 2045 bila kita mampu merealisasikan pembangunan rumah sebesar 1,5 juta per tahun, yang berarti target pembangunan perumahan harus dinaikan setidaknya 1,5 kalinya.
Chief Economist Indonesia Economic Intelligence (IEI) Sunarsip menyatakan, untuk mencapai target program perumahan tersebut dibutuhkan keterlibatan pendanaan, baik dari pemerintah pusat (termasuk kelembagaan yang dibentuk pemerintah seperti Bank Tanah, Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan (BP3), Badan Penglola Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) Tapera), pemerintah daerah, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), industri perbankan dan lembaga keuangan, pengembang, dan masyarakat.
Ia bilang dalam rangka mempercepat pembangunan perumahan rakyat, khususnya bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), pemerintah mengeluarkan serangkaian kebijakan terobosan di bidang pembiayaan perumahan. Pertama, melalui Skema Sewa Beli (Rent-To-Own). “Melalui skema ini, proses pengajuan pembelian rumah dilakukan dengan cara kesepakatan untuk menyewa sebuah properti dengan komitmen pasti untuk membelinya sampai jangka waktu yang ditentukan,” ujarnya, Selasa (11/7).
Kedua, Skema Kepemilikan Bertahap (Staircasing Ownership), yaitu Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Subsidi dengan skema kepemilikan secara bertahap. Pada tahap pertama dalam bentuk Sewa dan KPR, sedangkan pada tahap kedua murni KPR.
“Kedua inovasi pembiayaan ini terutama diperuntukan pada MBR, terutama yang berada di kota-kota yang memang rasio backlog-nya tinggi dibanding MBR di pedesaan,” jelasnya.
Sunarsip menilai positif terkait dengan inovasi kebijakan pembiayaan perumahan yang dikeluarkan oleh Pemerintah, dalam hal ini Kementerian PUPR tersebut. Dalam rangka memperkuat efektivitas kebijakan tersebut, ia mengusulkan adanya perubahan dalam sistem penilaian (assessment dan scoring) terkait dengan pengukuran kapasitas MBR calon penerima program. Ini mengingat, metode credit scoring yang tersedia saat ini belum mengakomodir karakteristik kelompok MBR informal yang “unbankable”.
Menurutnya, persoalan backlog perumahan terutama dihadapi oleh kelompok MBR informal. Kelompok MBR informal (pekerja maupun pengusaha informal) pada umumnya memiliki penghasilan yang tidak tetap dan tidak terpola. Kondisi inilah yang pada akhirnya menempatkan kelompok MBR informal ini sebagai unbankable.
Padahal, bila dilakukan profilling secara lebih spesifik, cukup banyak dari kelompok MBR informal ini yang memiliki kapasitas membayar relatif tinggi. Karenanya, perlu dilakukan penyempurnaan metode credit scoring yang memungkinkan kelompok MBR informal ini dapat mengakses pembiayaan perumahan dari perbankan.
Salah satu strateginya adalah, Sunarsip mengusulkan agar dimungkinkannya perbankan menggunakan aspek pengeluaran (expenditure) untuk mengukur borrowing capacity pada kelompok MBR informal. Pengukuran berbasis data pengeluaran ini antara lain dapat dilakukan pemanfaatan data belanja calon debitur yang dapat ditangkap (captured) dari big data berdasarkan transaksi belanja yang pembayarannya dilakukan secara digital.
“Dengan demikian, ini berarti calon debitur terlebih dahulu telah terkoneksi dengan perbankan melalui rekening tabungan,” ungkapnya.
Konsekuensi dari penerapan metode pengukuran berbasis pengeluaran ini, maka, Pertama, OJK perlu mengatur mekanisme penggunaan metode internal credit scoring yang memanfaatkan big data tersebut sebagai metode baku dan diizinkan oleh OJK untuk diterapkan perbankan.
Kedua, BI bersama perbankan perlu mendorong penetrasi implementasi QRIS, khususnya kepada para pelaku ekonomi kecil, misalnya pada merchant atau pedagang pasar. Tujuannya, untuk memudahkan masyarakat (termasuk MBR informal) dalam melakukan transaksi pembayaran secara digital. Semakin masif penetrasi implementasi QRIS akan semakin banyak pula data digital dari calon debitur KPR yang dapat di-captured oleh perbankan untuk dianalisis.
Ketiga, yang terpenting, penetrasi yang aktif dari para pemangku kepentingan dalam ekosistem perumahan, untuk mendorong kelompok MBR memiliki tabungan, baik melalui bank yang secara khusus menjadi penyalur KPR bersubsidi maupun lembaga pengelola tabungan perumahan lainnya seperti Tapera.
Kementerian PUPR telah memiliki program bantuan pembiayaan perumahan berbasis tabungan (BP2BT) bagi kelompok MBR informal. Keberadaan ini program ini dapat menjadi pintu masuk bagi implementasi digitalisasi calon debitur KPR bersubsidi dari kelompok MBR informal tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News