Reporter: Handoyo | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Pemerintah menyadari kelesuan ekonomi global dan rendahnya harga komoditas masih akan berlanjut di tahun depan. Oleh sebab itu, dalam menyusun anggaran tahun 2017 mendatang, pemerintah tak mau muluk-muluk mematok penerimaan tinggi.
Bahkan, Kementerian Keuangan memproyeksikan kenaikan penerimaan negara dari sektor pajak tak akan lebih dari Rp 30 triliun ketimbang rancangan APBN perubahan 2016. "Untuk penerimaan 2017, kami akan konservatif," kata Menteri Keuangan Bambang Brojonegoro, Kamis (28/4) lalu.
Sekadar mengingatkan, dalam APBN 2016, target penerimaan negara totalnya mencapai Rp 1.822,5 triliun. Rinciannya, penerimaan perpajakan (pajak dan cukai) Rp 1.546,7 triliun, PNBP Rp 273,8 triliun, dan hibah sebesar Rp 2 triliun.
Sementara, dalam rancangan APBN Perubahan 2016, pemerintah berencana menurunkan target penerimaan. Yakni, penerimaan pajak dari sektor migas diproyeksikan turun sampai Rp 17 triliun, penerimaan negara bukan pajak migas (PNBP) migas juga diprediksi turun hingga Rp 50,6 triliun dan PNBP nonmigas turun Rp 25 triliun.
Sehingga, potensi penurunan penerimaan negara di APBN Perubahan 2016 diperkirakan mencapai Rp 92,6 triliun dari APBN 2016. Sebab itu, dalam pendahuluan kebijakan anggaran atawa pagu indikatif 2017, pemerintah berjanji akan lebih realistis dalam menargetkan penerimaan dari pajak maupun bukan pajak.
Presiden Joko Widodo mengatakan, penerimaan negara saat ini masih didominasi sektor pajak. Karena itu, ia memerintahkan Menkeu untuk meningkatkan rasio pajak dengan memperluas data wajib pajak. "Sekali lagi harus realistis. Tak usah terlalu optimistis. Realistis dan bisa dilihat dari kalkulasi," ujar Jokowi.
Bambang mengatakan, untuk belanja di 2017, pemerintah berupaya untuk tetap fokus pada belanja prioritas melalui skema money follow program. Yakni fokus pada bidang infrastruktur, pertahanan dan keamanan, kesehatan, dan pendidikan.
Selain itu, kata Bambang, pemerintah juga akan melakukan efisiensi di belanja operasional maupun belanja non prioritas. "Kebijakan fiskal 2017, tetap melakukan defisit anggaran. Defisit anggaran ini diutamakan karena kami ingin kebijakan fiskalnya ekspansif, terutama untuk memberikan stimulus bagi perekonomian," kata Bambang.
Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia Berly Martawardaya mengatakan, sudah seharusnya pemerintah realistis dalam menyusun anggaran. Pemerintah harus melihat rasio pertumbuhan produk domestik bruto serta realisasi pendapatan pajak selama beberapa tahun belakang. "Pemerintah harus mengukur pertumbuhan secara linear, misalnya, dari realisasi 2014 dan 2015 yang lalu," kata Berly.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News