Reporter: Irma Yani, Bambang Rakhmanto | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kementerian Keuangan, dan Bank Indonesia (BI) akhirnya menyepakati isi Rancangan Undang-Undang (RUU) Mata Uang. Kesepakatan ini menutup debat terakhir, yaitu apakah Kementerian Keuangan ikut menanggung beban moneter karena meneken rupiah bersama BI.
Salah satu pasal dalam RUU Mata Uang menyatakan mulai 17 Agustus 2014, pemerintah diwakili oleh menteri keuangan bersama BI diwakili gubernur BI akan membubuhkan tanda tangan di atas rupiah baru.
Senin lalu (23/5), Deputi Gubernur BI Bidang Sistem Pembayaran Budi Rochadi mengingatkan, tanda tangan itu bukan cuma simbol, tetapi menyangkut tanggung jawab moneter. Ini termasuk berbagi beban ongkos peredaran rupiah.
Namun, kemarin (24/5) Menteri Keuangan Agus Martowardojo menegaskan otoritas moneter masih sepenuhnya di tangan BI. Ia pun membantah apabila Kemenkeu telah mencampuradukkan fungsi moneter dan fiskal dengan ikut meneken rupiah. "Soal sharing biaya, sudah ditetapkan bahwa itu merupakan beban BI,” jelasnya.
Begitu juga ketika ditanya apakah Kementerian Keuangan bisa ikut menentukan jumlah uang yang akan dicetak dan diedarkan, ia menjawab pemerintah menghormati otoritas BI. “Yang ada adalah peran koordinatif. Tanda tangan menteri keuangan itu sebagai bukti bahwa uang itu adalah uang Negara Kesatuan Republik Indonesia,” katanya
Agus pun berkata, Gubernur BI Darmin Nasution sudah menyatakan secara resmi persetujuannya. “Pak Darmin sudah menyampaikan tidak ada masalah,” kata Agus.
Cetak uang di BUMN
Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis juga mengatakan, keberadaan tanda tangan menteri keuangan di uang kertas rupiah sama sekali tidak mempengaruhi fungsi BI sebagai otoritas moneter.
Tanda tangan menteri keuangan itu, kata Harry, hanya simbolik guna menunjukkan bahwa itu uang negara bukan uang BI.
Menurut Harry, fungsi mencetak dan mengedarkan uang tetap ada di Bank Indonesia. Hanya saja, di dalam RUU Mata Uang, BI harus mencetak uang di perusahaan percetakan uang milik negara, bukan di luar negeri. “BI kan inginnya uang itu dicetak di luar negeri,” katanya.
Sedangkan tentang pembagian biaya pencetakan uang rupiah, Harry mengatakan, takkan ada perubahan meski menteri keuangan ikut meneken. Semua biaya tetap ditanggung BI. "Dalam UU, kalau modal BI di bawah Rp 2 triliun, itu kan dibantu dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Nah, APBN itu kan berarti BI minta ke pemerintah dan melalui persetujuan dengan DPR,” tegasnya.
Singkat kata, kata Harry, pembahasan RUU Mata Uang sudah kelar. Pekan depan RUU ini akan dibawa ke sidang paripurna DPR. "Tanggal 17 Agustus 2014 kita sudah dapat melihat mata uang kertas dengan tanda tangan menteri keuangan,” ucapnya.
Ekonom David Sumual sependapat, tanda tangan menteri keuangan hanya sebagai simbol bahwa itu uang sah RI. Jadi, BI tetap sebagai otoritas moneter, sementara pemerintah adalah pemegang risiko. "Kalau di negara lain kesepakatannya tergantung keputusan politik, jadi tidak saklak," imbuhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News