kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Tak ada standar pelayanan medis, RS jalan sendiri


Selasa, 21 Mei 2013 / 07:32 WIB
Tak ada standar pelayanan medis, RS jalan sendiri
ILUSTRASI. Petugas teller memperlihatkan pecahan 100 dollar US di salah satu bank di Tangerang Selatan, Kamis (18/3). Cadangan devisa bulan November 2021 diprediksi mengalami penurunan.


Reporter: Dadan M. Ramdan, Fahriyadi, RR Putri Werdiningsih | Editor: Dadan M. Ramdan

Tepat di peringatan hari Kebangkitan Nasional, puluhan dokter yang tergabung dalam Gerakan Indonesia Bersatu (GIB) menggelar aksi damai di sekitar Bundaran Hotel Indonesia, kemarin. Mereka menuntut kenaikan anggaran kesehatan dan menolak politisasi dalam Kartu Jakarta Sehat (KJS).

Aksi ini setidaknya mencerminkan program KJS mulai menemui batu sandungan. Sebelumnya, 16 rumah sakit swasta mundur sebagai pelayan KJS dengan dalih merugi akibat klaim tidak dibayar penuh. Boleh jadi rumah sakit lainnya akan  mengambil langkah serupa, bila tidak disikapi serius.
Sekadar mengingatkan, KJS yang merupakan program unggulan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang digadang-gadang bakal jadi pilot project pelaksanaan Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) yang akan dimulai 1 Januari 2014.
KJS bermasalah? Apa yang jadi pangkal persoalannya?

Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI ) Marius Widjajarta menyebutkan, hengkangnya sejumlah rumah sakit swasta dari KJS buntut dari tidak jelasnya standar pelayanan medis.

Dampaknya, harga-harga pelayanan di rumah sakit pemerintah terlebih swasta menjadi tidak terkontrol. Mereka menerapkan standar operasional prosedur (SOP) yang berlainan, lantaran sistem pelayanan medisnya berbeda-beda. Dan rumah sakit swasta cenderung berlebihan dalam mematok harga pelayanan karena mencari untung besar. Tak pelak, "Layanan kesehatan kita ibarat hukum rimba tak jelas acuannya," katanya kepada KONTAN, Senin (20/5).

Menurut Marius, pemerintah malah membuat acuan tentang sistem audit pelayanan kesehatan. "Ini menjadi aneh. Apanya yang mau diaudit? Standar pelayanan medisnya tak ada," bebernya.
Semestinya, pemerintah membikin peraturan standar pelayanan medis lebih dulu, agar pengenaan tarif rumah sakit tidak serampangan.
Marius menyebut, persoalan ini buah dari abai dalam mempersiapkan regulasi, penyelenggaraan pelayanan kesehatan.

Tengok saja, satu tahun setelah UU 36/2009 tentang Kesehatan disahkan, pemerintah punya tugas membuat 32 peraturan teknis. Tapi, sampai sekarang baru dua peraturan yang dibuat yakni Peraturan Pemerintah tentang ASI dan PP Tembakau. "UU Kesehatan ini sakit karena aturan teknisnya tak lengkap," ungkapnya.

Pun nasib UU No. 44/2009 tentang Rumah Sakit, dari lima PP yang diamanatkan, sampai detik ini belum satupun yang ditunaikan pemerintah. Wajar, jika rumah sakit punya aturan main sendiri-sendiri terlebih standar pelayanan medik tak ada rujukannya.
Alhasil sebanyak dua rumah sakit resmi mundur, dan 14 lainnya telah menyatakan akan mundur dari program pelayanan KJS.
Anggota Komisi IX DPR Poempida Hidayatulloh pun bersuara. Ia meminta pemerintah membuat aturan tentang standar pelayanan medik sesuai perintah UU Kesehatan. "Rewards dan punishment dalam konteks pengawasan pelayanan kesehatan bisa dilaksanakan sesuai standar," tegasnya.

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Irgan Chairul Mahfiz juga meminta pemerintah menjadikan KJS sebagai bahan evaluasi pelaksanaan BPJS. Apalagi saat ini sejumlah rumah sakit sudah memprotes besaran premi  yang terlalu rendah.
"Belum juga dilaksanakan, BPJS sudah banyak RS yang tidak mau melaksanakan karena biaya preminya tidak bisa menutup klaim–klaim yang diajukan," kata Irgan.

Kini pemerintah Provinsi DKI harus membicarakan ulang kesepakatan dengan pihak RS untuk menentukan besaran premi baru dalam program KJS. Setelah besaran premi yang baru ditetapkan, bisa menjadi acuan bagi pemerintah untuk menetapkan premi BPJS.
Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu menilai premi BPJS yang diusulkan Menkeu Rp 15.500 per orang per bulan terlalu kecil. Sebab KJS dengan premi Rp 23.000 per orang per bulan masih tak mencukupi semua klaim dari rumah sakit. "Usulan kami minimal Rp 27.000," tegasnya.     

(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×