Reporter: Rika, Handoyo | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Janji pemerintah merevisi perjanjian ASEAN China Free Trade Area (ACFTA) cuma sekadar janji manis di mulut saja. Pemerintah bahkan tidak memanfaatkan ajang ASEAN Summit di Bali 15-19 November ini untuk menegosiasikannya.
Direktur Kerja Sama ASEAN Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo mengatakan, evaluasi ACFTA tidak ada dalam jadwal. "Evaluasi akan dilakukan di dalam negeri dulu," ujarnya kemarin.
Menurut Imam, proses negosiasi klausul ACFTA di meja ASEAN dan mitranya bukan perkara mudah. Jika ingin mengubah jadwal (reschedule) berlakunya tarif, Indonesia harus dapat persetujuan 10 negara ASEAN lainnya. "Kalau mereka setuju, 10 negara itu sah meminta kompensasi," ungkapnya. Kompensasi itu bisa berupa Indonesia membuka sektor lain, atau mereka menaikkan tarif yang merugikan Indonesia.
Di Bali nanti, pemerintah bahkan juga tidak mengadakan pertemuan bilateral dengan China. "Kita hanya ada pertemuan bilateral dengan Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Jepang dan Australia juga meminta," paparnya.
Deputi Menko Perekonomian Bidang Perdagangan dan Industri Edy Putra Irawady juga menegaskan, tak ada agenda negosiasi ACFTA dalam forum ini.
Dalam pertemuan ASEAN Summit, antara lain akan ada kesepakatan paket kedua kerjasama khusus di bidang jasa dengan China. Sayang, Imam belum mau menjelaskan detailnya sektor jasa itu. "Bukan hal yang sensitif bagi Indonesia," kata Iman.
Tidak adanya agenda renegosiasi ACFTA sangat disayangkan. Di forum sebesar ini, sebagai Ketua ASEAN, Indonesia mestinya bisa menggalang dukungan dari negara-negara yang terlibat dalam perjanjian dagang bebas ini.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Sofyan Wanandi berharap, Indonesia akan tetap melakukan renegosiasi ACFTA, termasuk di Bali nanti. "Kita harus lihat, tiap negara punya kepentingan sendiri-sendiri," ujarnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, defisit perdagangan Indonesia-China memang kian tipis. Jika Januari sampai Agustus 2010, nilai defisit masih US$ 4,43 miliar, maka pada Januari hingga Agustus 2011, defisit sudah berkurang menjadi US$ 3,23 miliar.
Mengecilnya angka defisit, karena nilai ekspor Indonesia ke China terus mengalami kenaikan. Per Agustus lalu mencapai US$ 1,923 miliar. Cuma perlu diingat, membesarnya, angka ekspor karena harga komoditas primer seperti minyak kelapa sawit dan batubara yang sedang naik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News