Reporter: Fitri Nur Arifenie |
JAKARTA. Tahun ini, Departemen Kehutanan (Dephut) akan mengurangi titik api di kawasan hutan di seluruh Indonesia. Jumlah titik api yang ditargetkan oleh Dephut hanya sebesar 28.800 titik api atau turun 80% dari jumlah titik api pada tahun 2006.
"Memang sulit, kalau kita ingin mengurangi titik api secara keseluruhan," ujar Sony Partono, Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan, Ditjen Perlindungan Hutan Konservasi Alam, Dephut, Kamis (11/06).
Sony mengaku kesulitan untuk mengurangi titik api di sekitar kawasan hutan memang sulit. Alasannya, karena kondisi iklim di Indonesia yang cepat berubah. Ia menjelaskan, jika musim hujan maka titik api bisa padam. Namun saat musim kemarau tiba, titik api yang sudah padam bisa muncul kembali.
Khusus untuk pemadaman titik api ini, Dephut akan fokus kepada daerah-daerah yang rawan kebakaran, seperti misalnya di Sumatera. Ia menjelaskan, dari keseluruhan kawasan hutan di Indonesia, Riau yang memiliki paling banyak titik api yaitu berkisar antara 3.000 titik api, sedangkan daerah lainnya hanya memiliki 1.000 titik api."Sumatera kita fokuskan pada Riau, Jambi, dan Sumatera Utara," lanjutnya.
Meski sudah berupaya untuk mengurangi titik api, tetapi kebakaran hutan tak dapat dihindari. Menurut Sony, selama semester pertama tahun ini, kebakaran hutan paling besar terjadi pada bulan Februari lalu di Aceh yang mencapai 300 hektare. Kebanyakan areal yang terbakar itu bukan areal kawasan hutan tetapi areal lahan masyarakat misalnya: perkebunan, dan lain sebagainya. Menurutnya cukup sulit untuk melacak siapa yang membakar areal lahan karena kebanyakan areal yang dibakar tidak memiliki status kepemilikan lahan yang jelas. "Modus operasinya pun kalau malam dibakar, kemudian ditinggal begitu saja. Jadi cukup sulit untuk kita," paparnya.
Dephut sudah melakukan segala macam upaya untuk menghindari kebakaran. Tidak hanya mengurangi titik api tetapi juga memberikan pendidikan kepada masyarakat supaya tidak lagi membuka lahan dengan membakar. Namun, ia mengakui itu cukup sulit karena kebanyakan masyarakat untuk membuka lahan masih melakukannya dengan membakar lahan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News