Reporter: Choirun Nisa | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan (BI) 7-day reverse repo rate sebesar 25 bps dalam Rapat Dewan Gubernur (BI) yang digelar pada 20 dan 22 September 2017. Dengan demikian, suku bunga acuan BI berada di level 4,25%.
Ekonom-ekonom Bank CIMB Niaga berpandangan, penurunan suku bunga ini terjadi di saat momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah merosot jauh di bawah potensi pertumbuhannya. CIMB Niaga justru memprediksi dengan adanya penurunan ini pun berkorelasi dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi dan hanya akan mencapai sedikit di bawah angka 5,1%.
Ekonom BCA David Sumual berpendapat, penurunan 50 bps dalam suku bunga acuan telah diprediksi BCA dan memang harus dilakukan dalam kuartal III tahun ini mengingat kontraksi ekonomi yang akan dilakukan The Fed di Amerika dan negara-negara di Eropa di akhir tahun justru akan berbahaya menurunkan suku bunga di kuartal IV.
Terkait CIMB Niaga, ekonom BCA ini berpandangan setuju-tidak setuju. Menurutnya, penurunan suku bunga acuan merupakan bagian dari stimulus yang diharapkan pemerintah dapat merangsang dunia usaha dan masyarakat untuk mengambil kredit.
David mengakui, pertumbuhan kredit saat ini mengalami keadaan relatif stagnan sehingga tindakan BI menurunkan suku bunga acuan adalah stimulus kepada dunia usaha untuk percaya diri mengambil kredit.
"Jadi bisa berdampak untuk menggairahkan perekonomian, tetapi tidak dapat hanya mengandalkan satu aspek dari suku bunga acuan BI ini saja," ujar David ketika dihubungi KONTAN pada Senin (25/9).
David mengatakan, perlu adanya situasi fiskal yang kondusif, kebijakan struktural lain yang mengikuti penurunan suku bunga acuan serta implementasi kebijakan ekonomi yang sudah dibuat sehingga pertumbuhan ekonomi dapat ditingkatkan.
David mengatakan, tak mungkin suku bunga acuan serta-merta mendorong pertumbuhan ekonomi. "Contohnya Jepang yang menurunkan suku bunga hingga minus, tetapi tetap tidak bisa mendorong pertumbuhan ekonomi karena ada persoalan struktural lainnya yang harus diselesaikan," kata David.
Jika persoalannya adalah permintaan kredit yang masih lemah, maka pemerintah harus mulai mencari sumber pertumbuhan ekonomi lain yang lebih kuat, kata David. J
ika dulu mengandalkan komoditas yang harganya tinggi dan permintaan yang kuat, maka pemerintah harus mencari terobosan lain, apalagi dengan defisit tahun depan yang lebih rendah, mencari sumber pertumbuhan lain menjadi penting.
Meski suku bunga acuan terus turun, David mengatakan hal ini tak akan membuat investor menarik diri dari Indonesia. Menurutnya, secara imbal hasil, Indonesia masih sangat menarik bagi investor dibanding negara lain seperti Thailand, Malaysia, Turki ataupun India.
"Kecuali misalnya yield imbal hasil turun, tidak ada yang masuk dan hanya berpatokan pada 7 DRRR atau tidak mewaspadai dari global seperti The fed, mungkin saja. Tapi, selama kebijakan yang dikeluarkan masih relevan dengan fundamental, seperti saat ini, tidak ada masalah," kata Faisal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News