kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Subsidi BBM Nelayan Kecil Belum Mendapatkan Kesepakatan di Perundingan WTO


Rabu, 06 Maret 2024 / 11:35 WIB
Subsidi BBM Nelayan Kecil Belum Mendapatkan Kesepakatan di Perundingan WTO
ILUSTRASI. Sejumlah nelayan kapal kecil antre pengisian solar subsidi di SPBN Pelabuhan Jongor, Tegal, Jawa Tengah, Rabu (3/11/2021). Subsidi BBM Nelayan Kecil Belum Mendapatkan Kesepakatan di Perundingan WTO.


Reporter: Lailatul Anisah | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-13 Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 26-29 Februari membahas sejumlah topik salah satunya terkait kepastian subsidi BBM bagi nelayan kecil. 

Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional, Djatmiko Bris Witjaksono menjelaskan bahwa subsidi perikanan ini termasuk yang belum mendapatkan kesepakatan dalam KTM WTO beberapa hari lalu. 

Kondisi ini pun mengancam Indonesia lantaran memiliki geografis kepulauan yang memiliki banyak nelayan kecil memerlukan bantuan subsidi perikanan  termasuk BBM. 

Baca Juga: Bea Masuk Netflix Cs Ditunda Hingga 2026

"Indonesia tentu banyak kepentingan bersama dengan negara kepulauan lainnya untuk memastikan namanya special differential treatment untuk nelayan karena perlu dukungan pemerintah mendapatkan subsidi," jelas Djatmiko dalam konferensi pers daring, Selasa (5/3). 

Djatmiko menjelaskan adanya beberapa kepentingan yang membuat isu ini buntu tidak meraih kesepakatan. Meskipun dalam dua tahun terakhir subsidi nelayan telah gencar disuarakan dalam WTO. 

Ia menjelaskan, negara berkembang termasuk Indonesia meminta untuk ada perlakuan khusus terhadap subsidi nelayan ini karena memiliki banyak profesi nelayan yang bergantung pada subsidi dari pemerintah. Dan menurutnya, hal ini sah untuk diperjuangkan di WTO. 

Sementara negara maju juga memiliki kepentingan lain khususnya terkait dengan isu manajemen adanya kekhawatiran penangkapan ikan berlebih dan mengancam keberlanjutan stok ikan. 

"Disisi lain, kita tidak ingin itu menjadi satu yang berkontribusi terhadap berkurangnya daya dukung sumber daya perikanan di tingkat global," jelas Djatmiko. 

Baca Juga: WTO Moratorium Cukai Digital Hingga Tahun 2026

"Ini menjadi sorotan dari semua member, dari berbagai kacamata masing-masing," tambahnya. 

Diketahui, sejumlah negara mulai menyepakati pelarangan atas subsidi yang mendorong penangkapan ikan berlebih dan mengancam keberlanjutan stok ikan itu. 

Pada KTM ke-13 WTO, pada 26 Februari 2024, sembilan negara menyatakan menerima perjanjian subsidi perikanan. Dikutip dari wto.org, sembilan negara itu meliputi Brunei Darussalam, Chad, Malaysia, Norwegia, Rwanda, Arab Saudi, Togo, Turki, dan Filipina. 

Penerimaan terbaru dari negara-negara anggota WTO tersebut menambah jumlah anggota WTO yang menerima kesepakatan subsidi perikanan menjadi 70 negara. Dengan demikian, hanya tersisa 40 negara anggota lagi untuk menyepakati perjanjian menuju berlakunya pembatasan subsidi perikanan. 

Baca Juga: Perjalanan Transformasi Digital Arya Noble dengan RISE with SAP

Kesepakatan melarang subsidi perikanan yang merugikan dianggap sebagai langkah maju bagi keberlanjutan laut. Terdapat delapan jenis subsidi perikanan yang dilarang oleh WTO, salah satunya subsidi BBM, asuransi nelayan, dan biaya pegawai, dan termasuk subsidi peningkatan kapasitas kapal bagi nelayan kecil dan tradisional.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×