Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Strategi front loading pemerintah dinilai sudah tepat untuk mengantisipasi kenaikan suku bunga Amerika yang sudah pasti terjadi tahun ini. Dampak yang akan terjadi pada negara berkembang termasuk Indonesia tidak bisa diprediksi, sehingga akan lebih baik pencarian utang dilakukan lebih awal.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan kalau suku bunga negeri paman sam tersebut naik maka yield atau imbal hasil juga akan naik. Yang sekarang menjadi persoalan adalah optimalisasi penyerapan anggaran. Optimalisasi belanja ini selalu menjadi masalah klasik.
"Kemkeu harus berikan reward dan punishment bagi kementerian/lembaga," terang Josua ketika dihubungi KONTAN, Selasa (21/4). Bukan hal sepele, ketika realisasi belanja pemerintah rendah maka persepsi investor asing bisa menurun karena besarnya dana alokasi dari penghapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM) premium itu tidak dapat direalisasikan.
Akibatnya, outlook rating Indonesia bisa turun dan potensi rating untuk naik tidak bisa terjadi. Investor akan melihat pertumbuhan Indonesia tidak bisa bergerak meskipun anggaran sudah tersedia. Indikasi serapan kementerian/lembaga yang minim bisa menimbulkan persepsi adanya korupsi.
Sebagai informasi, data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemkeu) realisasi penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) per 31 Maret 2015 sudah mencapai 48,5% atau Rp 144,39 triliun dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 Rp 297,7 triliun. Realisasi ini sudah hampir mendekati setengah target hanya dalam tiga bulan pertama.
Bila dibanding tahun lalu, realisasi SBN tahun ini lebih rendah. Tahun 2014 realisasi SBN hingga 31 Maret adalah 57,9% dari target Rp 205,1 triliun. Gencarnya utang ini berbanding terbalik dengan realisasi belanja pemerintah yang dibiayai oleh utang tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News