Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Realisasi belanja negara hingga Maret 2015 memang baru 18,5% dari target. Namun, hal ini tidak menjadi alasan pemerintah melonggarkan kebijakan front loading alias pencetakan utang pada awal tahun yang sejak awal digadang-gadang.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemkeu), realisasi penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) per 31 Maret 2015 sudah mencapai 48,5% atau Rp 144,39 triliun dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 Rp 297,7 triliun. Realisasi ini sudah hampir mendekati setengah target hanya dalam tiga bulan pertama.
Bila dibanding tahun lalu, realisasi SBN tahun ini lebih rendah. Tahun 2014 realisasi SBN hingga 31 Maret adalah 57,9% dari target Rp 205,1 triliun. Gencarnya utang ini berbanding terbalik dengan realisasi belanja pemerintah yang dibiayai oleh utang tersebut.
Realisasi belanja pemerintah selama tiga bulan pertama adalah Rp 367,06 trilun atau 18,5% dari pagu Rp 1.984,1 triliun. Menanggapi hal ini, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan realisasi utang yang tinggi pada triwulan pertama sejalan dengan strategi pemerintah yaitu front loading.
Serapan belanja yang masih rendah, tidak menyurutkan pencetakan utang. Pasalnya bukan belanja yang menjadi pertimbangan pemerintah melainkan rencana kenaikan tingkat suku bunga Amerika pada semester dua 2015. "Kalau kita cari uang dari market itu sebaiknya dilakukan sebelum itu (kenaikan suku bunga Amerika)," ujarnya, Selasa (21/4).
Maka dari itu, diakuinya pemerintah tidak takut dengan realisasi utang yang tinggi ini. Risiko beban pembayaran bunga utang yang bakal ditanggung pemerintah dalam kurun waktu panjang tidak mengempiskan rencana pemerintah.
Kemkeu sendiri mengaku optimis penyerapan anggaran belanja akan membaik. Dirjen Anggaran Askolani sebelumnya menjelaskan serapan belanja akan lebih optimal mulai Mei 2015. Sekedar mengingatkan saja, pada tahun lalu pembiayaan utang berlebih dan tidak diimbangi dengan serapan belanja yang optimal sehingga pemerintah kebanjiran Sisa Lebih Pembiayaan ANggaran (SiLPA) hingga Rp 19 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News