Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
Peserta tersebut terdiri dari 96,6 juta penduduk tidak mampu (PBI) yang iurannya dibayar oleh Pemerintah Pusat dan 37,3 juta jiwa lainnya iurannya dibayarkan oleh Pemda.
Selain itu pemerintah juga membayar 3 persen iuran BPJS Kesehatan Aparatur Sipil Negara (ASN), anggota TNI dan Polri. Tidak hanya itu, pemerintah juga menyuntikan triliunan rupiah untuk menutup defisit program JKN. Mulai dari Rp5 triliun (2015), Rp 6,8 triliun (2016), Rp 3,6 triliun (2017) dan Rp 10,3 triliun (2018).
Anggaran itu diberikan agar defisit BPJS Kesehatan bisa menutup defisitnya yang sebesar Rp 9,4 triliun (2015), Rp 6,7 triliun (2016), Rp 13,8 triliun (2017), dan Rp 19,4 triliun (2018). Penyebab utama defisit program JKN kata Nufransa, yakni sudah terjadi sejak awal pelaksanaannya adalah besaran iuran yang underpriced dan adverse selection pada peserta mandiri.
Baca Juga: Keberatan iuran BPJS Kesehatan naik? Ini cara turun kelas perawatan
Tanpa dilakukan kenaikan iuran, defisit JKN akan terus meningkat, yang diperkirakan akan mencapai Rp 32 triliun di tahun 2019, dan meningkat menjadi Rp 44 triliun pada 2020 dan Rp 56 triliun pada 2021. Nufransa juga mengtakan, kenaikan Kelas 2 dan Kelas 1 BPJS Kesehatan juga dipertimbangkan dalam batas kemampuan bayar masyarakat (ability to pay).
Bila hal ada peserta yang merasa benar-benar berat membayar, bisa saja peserta yang bersangkutan melakukan penurunan kelas. Khusus untuk peserta mandiri Kelas 3, akan naik menjadi sebesar Rp 42.000, sama dengan iuran bagi orang miskin dan tidak mampu.
"Intinya adalah Pemerintah sangat memperhitungkan agar kenaikan iuran tidak sampai memberatkan masyarakat dengan berlebihan," kata dia
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sri Mulyani Disalahkan atas Kenaikan Iuran BPJS, Ini Jawaban Kemenkeu"
Penulis : Yoga Sukmana
Editor : Erlangga Djumena
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News