kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Skema subsidi tetap BBM picu kontroversi


Selasa, 30 Desember 2014 / 08:08 WIB
Skema subsidi tetap BBM picu kontroversi
ILUSTRASI. PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) (IDX: PGEO) Area Lahendong menyokong pembangunan bank sampah yang dipelopori Desa Pinabetengan Utara di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara. Upaya ini menjadi magnet dalam mengelola limbah secara efektif.


Reporter: Adi Wikanto, Benedictus Bina Naratama, Jane Aprilyani | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Rencana pemerintah mengubah sistem subsidi bahan bakar minyak (BBM) dari sistem kuota menjadi subsidi tetap mulai memacu kontroversi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pola subsidi tetap ini dianggap tak sesuai konstitusi. Dengan skema subsidi tetap, pemerintah hanya menyediakan subsidi dalam besaran tertentu setiap liter.

Harga premium dan solar di tingkat konsumen akan bergerak liar, naik turun sesuai harga minyak dunia. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2004 sudah mencabut pasal 28 ayat 2 dan 3 dari Undang-Undang (UU) no 22/2001 yang mengatur mekanisme pasar dalam penentuan harga BBM bersubsidi. Sebab, pasal dalam UU Migas itu langgar UUD 1945.

Putusan MK ini pula yang menjadi argumen politisi di Senayan untuk mempersoalkan kebijakan subsidi tetap yang diinginkan pemerintah berlaku 2015. Apalagi, pemerintah juga belum mengajukan anggaran perubahan di 2015.

"Penyaluran subsidi yang bertujuan menguntungkan negara, sama artinya dengan menyerahkan harga BBM sesuai mekanisme pasar. Ini bertentangan dengan UUD," tandas Ketua Komisi VII yang membidangi energi dari Fraksi Partai Gerindra Kardaya Warnika, Senin (29/12).

Kardaya menilai, pemerintah gegabah dalam mengatur kebijakan energi khususnya BBM bersubsidi. Saat harga minyak mentah turun, pemerintah justru menaikkan harga. Kini, "Tanpa kajian matang, pemerintah melempar isu subsidi tetap," ujar dia. Apalagi, jika pemerintah mencabut mencabut subsidi untuk premium dan menetapkan kebijakan subsidi tetap hanya untuk solar pada awal tahun 2015. "Kebijakan ini sangat beresiko," tandas dia,

Anggota Komisi VII dari Fraksi Partai Golkar Airlangga Hartarto menambahkan, pemerintah blunder bila mengubah skema subsidi mulai awal 2015. Soalnya, UU No 27/2014 tentang APBN 2015 masih menyebutkan bahwa pengelolaan subsidi BBM masih berdasarkan sistem alokasi.

"Kalau mau diubah, pemerintah harus mengajukan dulu perubahan UU APBN 2015 ke DPR," kata Airlangga. Selain itu, pemerintah juga harus mengamandemen UU Migas. Pasca putusan MK, UU Migas itu tak mengatur lagi penggunaan mekanisme pasar dalam penentuan harga BBM. "Sementara sistem subsidi tetap akan membuat harga BBM sesuai pasar," jelas Airlangga.

Ini jelas mementahkan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil sebelumnya yang bilang bahwa skema subsidi tetap atas BBM tak melanggar Undang-Undang. Pemerintah juga juga tak perlu izin ke DPR atas kebijakan itu.

Bahkan, kata Sofyan, pemerintah hanya akan memberi penjelasan atas perubahan kebijakan itu saat menyampaikan penyerahan RAPBNP 2015 Januari mendatang. Beda sikap ini tak pelak bisa membuyarkan hasrat menggebu pemerintah. Apalagi, jika gara-gara ini, hubungan pemerintah dan DPR kembali memanas.
Comment

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×