Reporter: Venny Suryanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan menetapkan penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau sebagai salah satu bagian strategi Reformasi Fiskal untuk pemungutan tahun 2021 lewat PM Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2020-2024 pada 29 Juni 2020.
Partner Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan, pemerintah perlu melanjutkan peta jalan simplifikasi strata tarif cukai hasil tembakau atau dikenal dengan sebutan cukai rokok yang sejatinya sudah dimuat dalam PMK 146/2017.
Menurutnya, penyederhanaan tarif cukai hasil tembakau (CHT) itu guna meningkatkan kesetaraan, efektivitas pengendalian konsumsi, dan optimalisasi penerimaan negara, simplifikasi perlu dilakukan.
Baca Juga: Meningkatkan nilai tambah tanaman tembaku melalui proses ekstraksi
“Ini dimulai dengan penggabungan batasan produksi rokok mesin SPM [sigaret putih mesin] dan SKM [sigaret kretek mesin],” katanya dalam konferensi daring, Selasa (21/7).
Bawono mengatakan simplifikasi itu sendiri sudah mendesak atau memiliki urgensi paling tinggi dalam konteks industri hasil tembakau (IHT) di Indonesia. Menurutnya, kekhawatiran simplifikasi itu akan menyebabkan terjadinya oligopoli atau monopoli di dalam pasar yang justru kurang beralasan.
Apalagi, penurunan jumlah pabrikan IHT justru tidak disebabkan oleh simplifikasi melainkan karena regulasi lain di luar CHT. Namun, simplifikasi justru dapat lebih mendorong terciptanya level of playing field yang lebih setara.
Maka, Bawono merekomendasikan empat langkah dan usulan untuk merespons tiga permasalahan fundamental dalam kebijakan CHT yang berlaku di Indonesia pada saat ini.
Permasalahannya meliputi struktur tarif dan produk hasil tembakau yang bersifat sangat kompleks. Kemudian kenaikan tarif CHT dan HJE yang tidak menentu, baik antargolongan maupun antarjenis hasil tembakau.
Baca Juga: Realisasi penerimaan Bea Cukai hinga Juni tumbuh 45,32%
Serta adanya diskrepansi antara harga produk tembakau yang beredar di pasaran (Harga Transaksi Pasar/HTP) yang tidak sesuai dengan harga yang didaftarkan atau tertera pada pita cukai di kemasan (Harga Jual Eceran/HJE)
Empat rekomendasinya adalah sebagai berikut Pertama, penetapan nilai optimal atas jarak tarif CHT dan harga jual eceran (HJE). Hal ini menjadi faktor yang dapat mendorong stabilitas guna menciptakan iklim usaha yang berkepastian.
Terkait hal tersebut, DDTC Fiscal Research menggarisbawahi dua pertimbangan utama yang patut menjadi perhatian pemerintah.
Rekomendasi langkah kedua adalah memperkecil jarak CHT dan HJE golongan 1 dan golongan 2 untuk rokok mesin serta memperlebar jarak tarif CHT dan HJE antara rokok mesin dengan rokok tangan untuk melindungi tenaga kerja IHT.
Kemudian yang ketiga yakni menghapus diskrepansi (ketidaksesuaian) rasio HTP dan HJE untuk mengoptimalkan fungsi pengendalian konsumsi produk tembakau.
Keempat yakni menjamin rencana simplifikasi struktur CHT nasional yang telah disusun dalam Perpres No.18/2020 dan PMK 77/2020 dapat diimplementasikan secara efektif ke dalam suatu blueprint kebijakan CHT.
Baca Juga: Produk tembakau alternatif butuh dukungan pemerintah
“Semangat simplifikasi atau penyederhanaan struktur cukai sendiri sebenarnya telah menjadi bagian dalam rencana strategis Kementerian Keuangan sebagaimana yang telah tertuang dalam PMK 77/2020,” tambahnya
Namun, perlu kembali diperjelas dan dipertegas dengan adanya produk hukum terkait CHT yang dapat menjadi blueprint simplifikasi dan juga area lain yang relevan, seperti misalnya penetapan jarak tarif CHT dan HJE.
Bawono mengatakan blueprint menjadi sangat krusial untuk memastikan terlaksananya rekomendasi-rekomendasi yang mampu mendorong kebijakan CHT yang berkepastian, berimbang, dan terarah.
“Bagi pelaku usaha IHT, terlaksananya blueprint merupakan suatu bentuk kepastian yang dapat meminimalkan distorsi dalam pengambilan keputusan berbisnis,” tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News