Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Persidangan terhadap Joko Mogoginta, mantan Presiden Direktur PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA) dan Budhi Istanto Suwito, mantan Direktur AISA kembali digelar di pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (2/12). Keduanya menjadi terdakwa setelah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menindaklanjuti laporan aduan masyarakat dari investor retail AISA.
Agenda persidangan kali ini adalah pemeriksaan terhadap saksi-saksi. Sidang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Akhmad Sayuti ini, mendengarkan keterangan saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum Leonard S.Simalango SH, yaitu Edi Broto Suwarno selaku Direktur Pemeriksaan Pasar Modal OJK dan Anton Apriyantono selaku mantan Komisaris Utama AISA.
Dalam kesaksiannya di pengadilan, Edi mengatakan memang terdapat indikasi pelanggaran dalam laporan keuangan yang disajikan AISA tahun buku 2017. Kala itu, kedua terdakwa merupakan direksi yang menandatangani Laporan Keuangan AISA. Menurutnya, indikasi pelanggaran itu ditemukan setelah pihaknya melakukan pengawasan dengan melakukan analisa pada laporan keuangan AISA.
Dari hasil analisa tersebut, ditemukan adanya permasalahan-permasalahan terkait pencatatan pihak-pihak terafiliasi. “Menurut divisi kami bahwa pencatatan itu ada yang tidak benar,” kata Edi dalam keterangannya di pengadilan seperti yang diterima Kontan.co.id, Kamis (3/12).
Dalam persidangan, Ketua Majelis Hakim juga mempertanyakan bagaimana OJK mengetahui ada enam perusahaan terafiliasi dengan AISA namun dicatat sebagai pihak ketiga. Dalam keterangannya, Edi menyatakan bahwa OJK telah melakukan penelusuran, pencarian data, dan mengundang para pihak untuk menjelaskan.
Selain itu, OJK juga melakukan pengecekan ke Kementerian Hukum dan HAM. Dari penelusuran itulah diketahui bahwa hasilnya ada kesamaan kepemilikan. Singkatnya, menurut Edi, perusahan-perusahaan yang terafiliasi itu dimiliki oleh Joko dan pak Budhi.
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Pasar Modal Tahun 1995, lanjut Edi, dinyatakan bahwa setiap pihak yang sengaja menghilangkan, memalsukan atau menyembunyikan informasi sehinggga berpotensi merugikan perusahaan, itu sama saja melakukan pelanggaran pidana.
Dua dampak
Dengan ketentuan tersebut, ada dua dampak dari pelanggaran pada laporan keuangan yang dilakukan oleh Joko dan Budhi. Dampak pertama adalah merugikan perusahaan, yakni AISA dan dampak kedua merugikan investor pasar modal. Yang seharusnya manajemen memperoleh keuntungan justru dirugikan, begitu pun investor publik dirugikan karena harga sahamnya menjadi turun.
Anton Apriyantono, mantan Komisaris Utama AISA mengaku, ia baru mengetahui adanya indikasi pelanggaran setelah mendapat informasi dari kumpulan pemegang saham ritel AISA. Dalam laporan yang ia terima, ada dugaan pelarian modal ke perusahaan lain yang bukan anak perusahaan AISA, melainkan perusahaan lain yang dimiliki direksi. Alhasil, dana milik AISA tidak kembali masuk perusahaan, melainkan dimasukan ke piutang.
Dalam persidangan, Anton pun mengaku merasa kecolongan. “Saya merasa dirugikan karena tidak pernah diberitahu, sebagai komisaris harusnya diberitahu. Padahal, di dalam lampiran internal laporan keuangan itu tidak ada masalah,” katanya.
Sebelumnya, para investor AISA yang tergabung dalam Forum Investor Ritel AISA (Forsa) menggugat Joko dan Budhi di PN Jakarta Selatan lantaran diduga melakukan penggelembungan (overstatement) piutang anak usaha kepada AISA dalam laporan keuangan tahun 2017. Akibat penggelembungan piutang ini, laporan keuangan konsolidasi AISA terlihat menarik dan investor pun membeli saham AISA.
Berdasarkan Laporan atas Investigasi Berbasis Fakta yang dilakukan oleh PT Ernst & Young Indonesia, sebagaimana dimuat dalam Keterbukaan Informasi AISA pada 26 Maret 2019, memuat adanya temuan dugaan overstatement Rp 4 triliun pada akun piutang usaha, persediaan, dan aset tetap Grup TPS Food. Lalu, Rp 662 miliar pada penjualan dan Rp 329 miliar pada EBITDA Entitas Food.
Selain itu juga ada dugaan aliran dana Rp 1,78 triliun kepada pihak-pihak yang diduga terafiliasi dengan manajemen lama, dan tidak ditemukan adanya pengungkapan (discslosure) secara memadai terkait hubungan dan transaksi dengan pihak terafiliasi yang tidak sesuai dengan Keputusan Bapepam No. KEP-412/BL/2009 tentang Transaksi Afiliasi dan Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu.
Karena itu, dalam gugatan ini, Jaksa Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mendakwa Joko dan Budhi dengan Undang-undang Nomor 8/1995 tentang Pasar Modal. Jika terbukti, keduanya akan dikenakan hukuman kurungan paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 15 miliar.
Bisa jadi, dalam sejarah peradilan Indonesia, inilah kali pertama Pasal Pidana dalam UU Pasar Modal digunakan untuk menjerat Direksi perusahaan go public. Selama ini banyak investor cuma bisa gigit jari lantaran bila terjadi pelanggaran pasar modal oleh emiten, emiten tersebut cuma kena sanksi administratif.
Selanjutnya: Dua eks bos PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA) divonis 3 tahun bui
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News