Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Peraturan Pemerintah (PP) tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE) dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan dan/atau pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) siap diterbitkan.
Melalui PP ini, perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, perkebunan, kehutanan dan perikanan, wajib melaporkan dan memasukkan DHE ke dalam Sistem Keuangan Indonesia.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengungkapkan, rancangan PP tersebut telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan saat ini tengah dalam proses pengundangan di Sekretariat Negara (Setneg) dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).
Jadi, PP ini siap terbit dalam waktu dekat ini. "Sudah ditandatangani Pak Presiden akhir minggu lalu, (sekarang) proses pengundangan di Setneg dan Kemenkumham. Mulai berlakunya saat diundangkan," kata Susiwijono saat dihubungi Kontan.co.id, pada Senin (14/1).
Pertambangan, menjadi salah satu sub sektor yang diatur di dalam PP tentang DHE ini. Namun, Susiwijono belum mengungkapkan dengan detail komoditas mana saja yang akan dikenai kebijakan ini.
Sebab, detail komoditas akan diatur oleh Kementerian Keuangan melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK). "Untuk menetapkan komoditas detailnya seperti apa, nanti pakai Kepmenkeu, dan temen-temen di Kemenkeu sudah menyiapkan," ujarnya.
Di dalam bidang usaha pertambangan ini, aturan mengenai DHE ini sejatinya bukan lah hal yang baru. Peraturan sejenis yang sebelumnya telah diterbitkan antara lain Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri, serta Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 1952 K/84/MEM/2018 dan Peraturan Menteri (Permen) Perdagangan Nomor 102 Tahun 2018.
Menurut Susiwijono, aturan dalam PP tentang DHE ini memiliki perbedaan dibandingkan dengan aturan pendahulunya. Selain karena PP ini lintas sektoral, Susiwijono mengatakan kewajiban DHE dalam PP ini dilengkapi dengan sanksi dan insentif, sehingga dinilai bisa lebih efektif untuk menarik dan menahan DHE dalam sistem keuangan Indonesia.
"Jadi akan lebih kuat pengaturannya. Kemudian (PP) ini bagian dari Paket Kebijakan Ekonomi XVI, di situ diberikan insentif berupa tarif perpajakan untuk bunga depositonya. Sanksinya bahkan sampai ke pencabutan izin, dulu kan nggak ada," jelasnya.
Adapun, bunga deposito untuk DHE SDA yang ditempatkan pada bank devisa diberikan insentif pajak penghasilan (PPh) yang bersifat final sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Rinciannya, bunga deposito DHE SDA yang dikonversi ke rupiah selama satu bulan sebesar 7,5%, tiga bulan sebesar 5%, dan 0% untuk yang enam bulan atau lebih. Sedangkan untuk bunga deposito DHE SDA yang tidak dikonversi ke rupiah (dalam US$) akan mendapatkan 10% untuk satu bulan, 7,5% untuk tiga bulan, 2,5% untuk enam bulan, dan 0% untuk yang lebih dari enam bulan.
Sementara itu, aturan ini juga memberikan penegasan terhadap sanksi bagi perusahaan yang melanggar ketentuan. Yakni sanksi administratif berupa: tidak dapat melakukan ekspor, denda, hingga pencabutan izin usaha.
Adanya insentif dan penegasan sanksi itu, diharapkan bisa menjadi instrumen agar lebih banyak DHE yang dikonversi menjadi rupiah.
Sebab, sebagaimana yang pernah diberitakan Kontan.co.id, berdasarkan data yang telah direkap oleh Bank Indonesia per Oktober 2018, meski kepatuhan eksportir yang melaporkan DHE sudah mencapai 98%, namun jumlah devisa yang dikonversi ke rupiah baru sekitar 15%.