Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
2. Masalah stok, suplai, akses terhadap vaksin
Masalah kedua adalah terkait stok, suplai, dan akses terhadap vaksin yang belum merata. "Dan ini bisa menjadi potensi diskriminasi, ketidakadilan antar wilayah termasuk penduduk," ungkapnya.
Seperti diketahui, akses vaksin Indonesia saat ini adalah dari negara-negara lain dengan jumlah vaksin yang terbatas. Dengan jumlah vaksin yang masih sedikit, tak heran jika di banyak daerah banyak orang mengaku sulit mendapat vaksin atau ketika sudah mendaftar kuotanya dengan cepat terisi.
"Kecuali kalau cakupan minimal vaksin sudah 50 persen, ini menurut saya bisa menggunakan sertifikat vaksin," imbuh dia.
Menurut Dicky, penerapan sertifikat vaksin untuk berkegiatan harus dilakukan dengan bijak dan bertahap.
"Jika suatu provinsi mau memberlakukan sertifikat vaksin, semua kota/kabupaten hingga kecamatan cakupan vaksinnya sudah 50 persen itu bisa saja dilakukan," sambungnya.
"Tapi kalau belum, nantinya jadi tidak adil."
Dia mengingatkan kembali, hal ini tidak direkomendasikan karena masih banyak orang yang belum divaksin dengan berbagai alasan. Bukan hanya karena orang tersebut tidak mau divaksin, tapi bisa juga karena persediaan vaksin yang sangat terbatas, sulit mendapat akses ke vaksin, atau karena kondisi tubuh.
"Ini yang harus dipertimbangkan," pungkasnya.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Sertifikat Vaksin Covid-19 Jadi Syarat Beraktivitas, Ini Kata WHO dan Epidemiolog"
Penulis : Gloria Setyvani Putri
Editor : Gloria Setyvani Putri
Selanjutnya: Inilah tempat umum di Jakarta yang harus menunjukkan sertifikat vaksin Covid-19
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News