Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemerintah kembali mengumumkan kabar baik soal realisasi investasi.
Berdasarkan data Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, realisasi investasi pada kuartal II-2025 tercatat Rp 477,7 triliun atau naik 11,5% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 428,4 triliun.
Namun, di balik lonjakan angka tersebut, satu fakta mencemaskan justru muncul, yakni jumlah tenaga kerja yang terserap dari realisasi investasi tersebut malah menunjukkan penurunan.
Sepanjang April-Juni 2025, hanya 665.764 orang yang terserap dari proyek-proyek investasi tersebut.
Angka ini mengalami penurunan jika dibandingkan dengan serapan tenaga kerja sebanyak 677.623 orang pada kuartal II-2024. Dengan begitu, investasi yang lebih besar justru menghasilkan lapangan kerja yang lebih sedikit.
Baca Juga: Menaker Sebut Data PHK Nasional Jadi Kunci Atasi Krisis Tenaga Kerja
Fenomena ini memperkuat kekhawatiran bahwa aliran investasi saat ini lebih banyak mengarah ke sektor padat modal, bukan padat karya.
Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet mengamini, fenomena ini menunjukkan pergeseran struktur ekonomi nasional ke sektor-sektor padat modal, seperti hilirisasi tambang, energi, dan infrastruktur.
Menurutnya, meski sektor-sektor tersebut penting untuk transformasi ekonomi jangka panjang dan meningkatkan nilai tambah di dalam negeri, dampaknya terhadap penciptaan lapangan kerja relatif terbatas.
"Karena sifatnya yang sangat bergantung pada teknologi dan otomatisasi, kontribusinya terhadap penciptaan lapangan kerja relatif terbatas dibandingkan dengan sektor-sektor padat karya," ujar Yusuf kepada Kontan.co.id, Rabu (30/7).
Sebagai perbandingan, ia menyinggung strategi Vietnam yang secara aktif menarik investasi asing di sektor padat karya, seperti tekstil, sepatu, dan elektronik.
Strategi itu dinilai sukses menciptakan jutaan lapangan kerja, meski tetap menghadapi tantangan dari sisi kualitas pekerjaan dan upah.
"Dalam konteks Indonesia, tantangannya bukan hanya soal jumlah investasi, tetapi bagaimana arah investasi itu dirancang agar lebih inklusif secara sosial," tegas Yusuf.
Yusuf menggarisbawahi bahwa tidak ada standar pasti mengenai idealnya jumlah tenaga kerja yang diserap dari setiap rupiah investasi, karena hal itu tergantung pada karakter sektoral, adopsi teknologi, dan strategi pembangunan yang diambil pemerintah.
Ia mengusulkan tiga langkah prioritas untuk merespons tren ini. Pertama, mendorong diversifikasi investasi ke sektor padat karya berorientasi ekspor seperti manufaktur ringan dan agribisnis.
Kedua, memperluas dampak program hilirisasi agar turut menghidupkan rantai pasok domestik, termasuk UMKM. Ketiga, meningkatkan kapasitas tenaga kerja melalui pendidikan teknis dan pelatihan vokasional agar sesuai dengan kebutuhan industri masa depan.
Sementara itu, Koordinator Analis di LAB 45, Reyhan Noor menambahkan, perbedaan data serapan tenaga kerja sebagian disebabkan oleh pergeseran sektor investasi itu sendiri.
"Salah satu contohnya adalah sektor jasa lainnya yang meningkat signifikan dalam realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) saat ini," kata Reyhan.
Menurutnya, kebijakan ketenagakerjaan perlu disesuaikan dengan perubahan ini, terutama dalam menyesuaikan keahlian pekerja yang sebelumnya berada di sektor tidak lagi kompetitif seperti tekstil ke sektor-sektor yang kini menjadi fokus pemerintah.
Selain itu, peningkatan keahlian juga penting agar ketergantungan dengan tenaga kerja asing dapat berkurang.
"Pembaharuan kurikulum vokasi mungkin dapat berkontribusi dalam menyelesaikan permasalahan ini," pungkasnya.
Baca Juga: Cari Kerja Group Perluas Akses Talenta Indonesia ke Pasar Tenaga Kerja Global
Selanjutnya: Jelang Deadline Tarif Trump, Rupiah Menguat Tipis pada Rabu (30/7)
Menarik Dibaca: Promo Alfamidi Ngartis sampai 31 Juli 2025, Beli 1 Gratis 1 Kinder Joy-Big Cola
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News