Reporter: Grace Olivia | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penurunan cadangan devisa (cadev) pada Januari 2019 menjadi US$ 120,1 miliar dari Desember 2018 yang sebesar US$ 120,7 miliar dinilai tidak berlangsung lama. Sejumlah ekonom memproyeksikan cadev akal kembali meningkat seiring derasnya arus modal asing yang masuk ke pasar domestik.
Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan, negara emerging market masih diselimuti sentimen positif, termasuk Indonesia. Oleh karena itu, potensi peningkatan cadev pada bulan-bulan selanjutnya pun masih terbuka. "Inflow meningkat, secara year-to-date sudah sekitar Rp 20 triliun yang masuk. Rupiah juga menguat," ujar David kepada Kontan.co.id, Kamis (7/2).
Sentimen positif ini, menurut David, dapat dimanfaatkan pemerintah untuk menimbun cadev. Apalagi, minat investor terhadap surat berharga negara (SBN) maupun Sertifikat Bank Indonesia (SBI) berdenominasi valuta asing juga terbilang tinggi bahka sering oversubscribed.
Selain itu, potensi penerimaan bagi hasil dari minyak dan gas juga masih dapat menambah pundi-pundi devisa Indonesia. Meski, tren harga minyak telah melandai sejak akhir tahun lalu. "Tapi, kelihatannya harga minyak bisa recover lagi sehingga penerimaan devisa dari sektor ini masih cukup baik," lanjut David.
Senada, Ekonom Maybank Indonesia Myrdal Gunarto berpendapat, cadangan devisa Indonesia akan kembali naik hingga Maret lantaran tren inflow modal asing yang besar. Namun, prediksinya kenaikan cadev juga tidak akan begitu signifikan di tengah kebutuhan pemerintah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) yang juga masih tinggi.
"Masih ada kebutuhan pembayaran utang, dividen, dan impor. Sementara, eskpor kita juga masih tertahan pertumbuhannya seiring kondisi perekonomian global yang melambat," tutur Myrdal, Kamis.
Ditilik dari rasio terhadap impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, posisi cadev saat ini memang terbilang aman yaitu setara 6,5 bulan kebutuhan pembayaran. Namun, David menyarankan pemerintah agar tidak lengah menggenjot devisa.
Alasannya, pemerintah juga mesti mengantisipasi rasio cadev terhadap utang luar negeri jangka pendek yang saat ini totalnya mencapai US$ 49,6 miliar. Utang jangka pendek tersebut terdiri dari utang pemerintah, bank sentral, dan swasta.
"Kalau cadev saat ini US$ 120,1 miliar, berarti sekarang rasionya hanya 2,4 kali. Lebih aman kalau rasio cadev ditingkatkan menjadi 2,7 sampai 3 kali dari utang jangka pendek," kata David.
Di luar itu, ia menilai belum ada yang perlu begitu dikhawatirkan dari posisi cadev Indonesia saat ini. Terutama, Indonesia juga masih memiliki secondary buffer dari perjanjian swap mata uang dengan negara lain yang nilainya mencapai sekitar US$ 112 miliar.
Di antaranya, perjanjian swap dengan China sekitar US$ 30 miliar, Jepang sekitar US$ 22 miliar, juga Australia dan Singapura masing-masing US$ 10 miliar. Perjanjian keuangan antarnegara ini bermanfaat untuk menjaga kestabilan keuangan, terutama saat dihadapkan pada ketidakpastian global.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News