kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sederet program para calon pemimpin


Jumat, 30 Mei 2014 / 18:29 WIB
Sederet program para calon pemimpin
ILUSTRASI. Air mentimun bisa membantu menurunkan kolesterol tinggi.


Reporter: Tedy Gumilar, Herry Prasetyo, Mimi Silvia | Editor: Imanuel Alexander

Jakarta. Dua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) mulai merayu hati rakyat lewat sederet visi, misi, dan program. Di atas kertas, semuanya menjual mimpi manis yang membuai soal kemandirian ekonomi bangsa dan keberpihakan terhadap rakyat.

Duet Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi–JK) mengusung visi pemerintahan baru di tangan mereka, yakni mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong-royong. Tak mau kalah, duet Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa menyampaikan visi berupa membangun Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur, serta bermartabat.

JK menegaskan, dalam lima tahun kepemimpinannya bersama Jokowi kelak, salah satu program utama yang akan mereka perjuangkan adalah penciptaan lapangan kerja. Caranya, mendorong pembangunan di sektor pertanian, perikanan, dan manufaktur. “Prioritas yang penting itu harus dilandasi dengan infrastruktur yang baik, seperti listrik, jalan, dan pelabuhan. Di belakangnya lagi ada pendidikan. Kita mau apa pun, tapi tanpa pendidikan enggak bisa jalan,” tegas dia.

Senada, Prabowo–Hatta menjanjikan penyerapan angkatan kerja sebanyak dua juta orang per tahun. Caranya, lewat pembangunan sektor pertanian, industri pengolahan padat karya, serta pemerataan pembangunan infrastruktur. “Jangan sampai terjadi akumulasi orang tidak bisa bekerja. Seperti sekarang, angkanya 1,5 juta orang sehingga mereka harus bekerja di luar negeri,” ungkap Burhanuddin Abdullah, Ketua Dewan Pakar Partai Gerindra.

Program kembar

Terlepas dari janji manis mereka, nyatanya beberapa program yang kedua pasangan capres-cawapres usung persis sama. Di bidang pertanian, misalnya, salah satu program yang menjadi sorotan adalah pendirian bank khusus. Jokowi–JK menyebutnya bank khusus untuk pertanian termasuk nelayan, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta Koperasi. Sementara Prabowo–Hatta menggunakan nama bank tani dan nelayan. Secara garis besar, konsep yang mereka gunakan sama saja, yakni membuka akses permodalan bagi sebagian besar rakyat Indonesia yang selama ini tidak tersentuh oleh bank konvensional.

Khudori, pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, bilang, dalam 40 tahun–45 tahun terakhir, kredit yang mengalir ke sektor pertanian tidak lebih dari 7% dari total kredit perbankan. Jika dibedah lebih dalam, kredit ini pun lebih banyak mengucur ke sektor perkebunan, terutama kebun kelapa sawit. “Yang menikmati juga segelintir orang. Sektor yang digeluti oleh banyak pelaku usaha malah nyaris tidak tersentuh,” ujar Khudori.

Dan, konsep bank khusus bagi petani, menurut Khudori, bukan barang baru. Di negara lain, seperti China, Thailand, dan India, sudah lama diterapkan. Sedang Malaysia punya lembaga keuangan nonbank yang disebut Bank Pertanian Malaysia (Rabobank).

Khudori mengatakan, usul pembentukan bank petani sudah pernah diajukan saat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan RUU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Tapi, “Usul soal bank petani itu ditolak pemerintah dan DPR,” tambah Khudori.

Masalah lainnya, UU Perbankan hanya mengenal jenis bank umum dan bank perkreditan rakyat (BPR). Artinya, butuh revisi UU Perbankan jika ingin menggolkan bank khusus pertanian yang punya karakteristik pembiayaan tersendiri. “Cara lain yang bisa ditempuh, membentuk lembaga keuangan nonbank seperti Rabobank di Malaysia,” imbuh Khudori.

Burhanuddin mengakui, memang bukan persoalan gampang dan bisa seketika untuk melahirkan bank khusus petani. “Bisa terwujud di pertengahan kepemimpinan saja sudah luar biasa,” kata bekas Gubernur Bank Indonesia (BI) ini.

Di sektor infrastruktur juga sami mawon. Kedua pasangan calon pemimpin negeri ini menekankan pada penambahan panjang jalan baru, rel keretaapi baru, pelabuhan, dan bandara. Perbedaannya cuma di soal angka. Jokowi–JK berjanji bakal membangun infrastruktur jalan baru sepanjang 2.000 kilometer (km) dan memperbaiki jalan di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Adapun Prabowo–Hatta menjanjikan pembangunan jalan dan jembatan termasuk 3.000 km jalan raya nasional baru.

Soal program kerja yang serupa, kedua kubu punya jawaban yang senada pula. Burhanuddin dan Arif Budimanta, politisi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, kompak menyebut, hal ini lantaran pasangan capres-cawapres sama-sama hidup di Indonesia dan melihat permasalahan yang sama.

Teruskan program SBY

Beberapa program ekonomi juga bukan barang baru karena sudah diusahakan oleh Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Yang paling terang adalah soal hilirisasi mineral tambang. Kedua pasangan calon pemimpin yang mengklaim sama-sama paling mampu menjadi nakhoda Indonesia ini juga berjanji akan mendorong program pengolahan mineral mentah di dalam negeri. Tujuannya, ya, untuk meningkatkan nilai tambah dari komoditas pertambangan tersebut.

Sekadar menyegarkan ingatan, berdasar UU No. 4/2009 tentang Mineral dan Batubara, pemerintah melarang ekspor mineral mentah mulai 12 Januari 2014. Jika ingin tetap menjual ke luar negeri, maka penambang akan kena bea keluar progresif 20% hingga 60% secara bertahap sampai tahun 2016.

Hasil kebijakan itu, menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya mineral, ada 66 pabrik pengolahan (smelter) yang akan dibangun di Indonesia. Komitmen investasi smelter yang mengolah berbagai komoditas mineral mentah tersebut mencapai US$ 17,4 miliar.

Memang, masih ada masalah terutama di sisi pembiayaan. Natsir Mansyur, Ketua Asosiasi Tembaga Emas Indonesia (ATEI), mengungkapkan, kemampuan bank nasional untuk membiayai proyek-proyek jangka panjang seperti smelter sangat terbatas. Dus, jika tak ada terobosan di skema pembiayaan domestik, neraca utang luar negeri swasta bakal kian menggemuk dan pada satu titik bisa bikin repot bangsa kita.

Program kembar berikutnya yang juga serupa dengan yang dilakukan Pemerintahan SBY adalah ketersediaan listrik yang merata dari Sabang sampai Merauke. Jokowi–JK dan Prabowo–Hatta menjual program rasio elektrifi kasi, konversi pembangkit listrik berbahan bakar minyak (BBM) ke batubara dan gas, serta penggunaan sumber energi baru dan terbarukan.

Jokowi menyatakan, pengalihan sumber energi pembangkit dari BBM ke gas dan batubara bisa menghemat pengeluaran negara. Dengan begitu, dananya bisa dialihkan untuk menunjang program-program pemerintah yang lain. “Kalau bisa dialihkan dari BBM ke batubara atau ke gas, negara kita bisa hemat Rp 70 triliun,” kata dia.

Usaha mengerek rasio elektrifi kasi sejatinya juga ditempuh pemerintahan sebelumnya dengan menggelar program listrik 10.000 megawatt (MW). Belakangan, Presiden SBY menelurkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 39/2014. Dalam beleid yang kerap disebut Perpres Daftar Negatif Investasi (DNI) tersebut, jelas terlihat upaya pemerintah mendorong investasi di bidang kelistrikan. Disektor pembangkit listrik berkapasitas lebih dari 10 MW, transmisi, dan distribusi listrik melalui kerjasama pemerintah–swasta, pemodal asing bisa menguasai 100% kepemilikan selama masa konsesi.

Terkait penggunaan energi baru dan terbarukan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah merilis Peraturan Menteri No. 12/2014 tentang Pembelian Listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Air oleh PT PLN. Dalam beleid ini, harga jual listrik tenaga air bertegangan rendah dan menengah (250 kilowatt hingga 10 MW) sebesar Rp 750 per kilowatt hour (kWh) sampai Rp 1.270 per kWh. “Dengan skema fixed in tariff, pemilik pembangkit menerima tarif yang premium. Ini peluang untuk pengusaha lokal,” kata Fabby Tumiwa, pengamat kelistrikan.

Subsidi BBM

Dan, masalah besar yang siap menghadang presiden dan wakil presiden yang baru adalah subsidi BBM. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Perubahan 2014, pemerintah mematok anggaran subsidi BBM hampir Rp 300 triliun, persisnya Rp 285 triliun. Angka ini melonjak Rp 74,3 triliun dari pagu dalam APBN 2014. Cara paling gampang untuk memangkas subsidi BBM adalah dengan menaikkan harga BBM.

Problemnya, apakah pemerintahan yang baru mau mengambil kebijakan tidak populer tersebut? Jawabannya: pasti tidak karena kebijakan itu bisa menggerus suara mereka dalam pilpres. Benar saja. JK menegaskan, sampai saat ini dirinya dan Jokowi belum berencana mendongkrak harga BBM bersubsidi. “Yang penting, semua subsidi BBM harus tepat, pindahkan pada yang betul-betul membutuhkan,” ujar JK.

Dalam program aksi Jokowi–JK, salah satu langkah penghematan subsidi BBM ialah melakukan transformasi sektor transportasi, dari berbasis BBM ke gas dengan mengubah strategi tata niaga. Dalam kalkulasi pasangan ini, pengalihan 30% transportasi dari berbasis BBM ke gas akan mengurangi subsidi BBM sebesar Rp 60 triliun sekaligus menurunkan harga energi sebanyak 20%.
Burhanuddin bilang, secara rasional subsidi BBM memang harus dikurangi dan dialihkan dananya ke yang lebih tepat. “Pada awal pemerintahan harus mulai dipikirkan untuk dikurangi. Gantinya ke ujung. Misalnya, mengadakan bus tanpa AC secara gratis untuk masyarakat,” katanya. Namun, Burhanuddin menambahkan, menaikkan harga BBM memang bukan urusan yang gampang apalagi di awal-awal pemerintahan.

Alhasil, hanya program-program yang manis saja yang para capres dan cawapres jual. Yang pahit seperti mengerek harga BBM bersubsidi jelas tidak. Habis, siapa yang mau kehilangan muka sebelum bertanding, meski bukan tidak mungkin keputusan sangat pahit, menaikkan harga premium dan kawan-kawan, akan mereka ambil di awal pemerintahannya.

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 35 - XVIII, 2014 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×