Reporter: Fahriyadi | Editor: Fahriyadi .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sebanyak duabelas tokoh antikorupsi mengajukan diri untuk menyampaikan pendapat hukum dalam bentuk Amicus Curiae kepada hakim praperadilan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dalam perkara pemeriksaan permohonan praperadilan nomor 119/Pid.Pra/2025/PN Jkt.Sel dengan Pemohon Nadiem Anwar Makarim.
Para tokoh antikorupsi ini mendesak dalam proses praperadilan, pihak Termohon, dalam hal ini Penyidik, mampu menjelaskan alasan Pemohon patut untuk diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Para Amici (sebutan bagi pihak amicus curiae) menilai bahwa dua alat bukti yang dijadikan dasar penetapan tersangka terhadap Pemohon tidak cukup kuat untuk menduga Pemohon sebagai pelaku tindak pidana. Dengan kata lain, tindakan penetapan Pemohon dalam status tersangka tidak berlandaskan pada konsep reasonable suspicion atau kecurigaan yang beralasan.
Baca Juga: Kejagung vs Nadiem: Sidang Praperadilan Korupsi Chromebook Digelar Jumat (3/10) Ini
"Beban pembuktian seharusnya tidak diberikan kepada Pemohon, melainkan Termohon, yaitu penyidik. Karena pada dasarnya penyidiklah yang mendalilkan sesuatu, bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga Pemohon adalah pelakunya," ujar Natalia Soebagjo, salah satu Amici usai membacakan dan menyerahkan Amicus Curiae di Jakarta, Jumat (3/10).
Dengan menjalankan prinsip tersebut, Para Amici menilai, dalam sidang praperadilan, hal pertama yang yang harus dilakukan oleh pihak Termohon adalah menjelaskan tindak pidana yang diduga terjadi dan alasannya menduga seseorang sebagai pelaku tindak pidana. Cara seperti ini dinilai penting agar publik juga bisa memahami proses penegakan hukum dan ikut mengawasi timbulnya suatu perkara hukum.
“Publik memiliki hak untuk mengetahui dengan jelas mengenai hal yang diperkarakan. Inilah pentingnya sebuah proses hukum dijalankan secara transparan, akuntabel dan penuh tanggungjawab. Jika itu dilaksanakan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum akan semakin tinggi,” jelas Natalia.
Dalam kasus Nadiem Makarim, ketidakjelasan penetapan tersangka terlihat dengan tidak pernah adanya penjelasan resmi dari Kejaksaan Agung (Kejagung) tentang perbuatan tindak pidana korupsi yang menjadi dasar Pemohon sebagai Tersangka. Hingga saat ini informasi yang diberikan oleh Penyidik dinilai sepotong-sepotong.
Dalam prosesnya, Penyidik hanya menyampaikan bahwa tindak pidana yang terjadi terkait pengadaan Chromebook tanpa rincian lebih lanjut, seperti mark-up dalam proses pengadaan, suap menyuap, atau yang lainnya. Ditambah lagi, Kejagung juga tidak pernah memberikan penjelasan dugaan peran atau perbuatan dari Nadiem dalam kasus Chromebook.
Lebih jauh para Amici menyatakan bahwa proses pemeriksaan dengan mendorong keharusan penyidik untuk menjelaskan tindak pidana dan alasan penetapan tersangka juga dapat mempersingkat proses pemeriksaan praperadilan. Tahapan ini akan sama dengan pemeriksaan pada tahap pretrial hearing di negara-negara common law system yang merupakan konsep lahirnya lembaga praperadilan.
Untuk menciptakan transparansi dan tegaknya keadilan, para Amici mendorong hakim praperadilan untuk bersikap netral dan dapat menguji apakah penilaian subyektif tersebut benar-benar beralasan atau tidak. “Peran tersebut selama ini hampir tidak pernah terjadi di sidang praperadilan,” kata Natalia.
Adapun Amicus Curiae ini dimaksudkan untuk mendorong agar praperadilan atas sah tidaknya penetapan tersangka dapat berjalan lebih efektif, efisien, sederhana namun tepat sasaran. Sebab, para Amici melihat proses pemeriksaan praperadilan yang berjalan selama ini mengikuti mekanisme yang menyerupai hukum acara perdata dengan prinsip siapa yang mendalilkan dia yang membuktikan. Padahal, prinsip ini tidak tepat untuk pemeriksaan praperadilan yang hanya ada dalam hukum pidana.
Para Amici juga mendesak perubahan proses pemeriksaan praperadilan dalam penetapan tersangka. Tidak hanya untuk perkara ini saja, tetapi pemeriksaan praperadilan secara umum. Langkah itu diperlukan untuk membuat lembaga praperadilan berfungsi sebagai sarana untuk mengawasi penggunaan kewenangan-kewenangan dari penyidik.
Pasalnya, permohonan praperadilan yang berlangsung selama ini dianggap telah menyimpang. Lembaga praperadilan juga dinilai kurang berhasil dalam menjalankan fungsinya seperti yang dimaksudkan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP.
“Kami berharap pendapat hukum ini dapat menjadi standar baru dalam proses praperadilan ke depan. Sehingga setiap langkah penegakan hukum yang dilakukan dapat memberikan kepastian dengan menghormati hak hukum pihak yang ditetapkan sebagai tersangka,” tegas Natalia.
Sebagai informasi, para Amici yang mengajukan diri terdiri dari para tokoh dan pegiat antikorupsi yang memiliki latar belakang beragam. Berikut daftar profil 12 Amici:
1. Pimpinan KPK Periode 2003-2007, Amien Sunaryadi
2. Pegiat Antikorupsi dan Pendiri Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), Arief T Surowidjojo
3. Peneliti Senior Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan, Arsil
4. Pegiat Antikorupsi dan Juri Bung Hatta Anti Corruption Award, Betti Alisjahbana
5. Pimpinan KPK 2003-2007, Erry Riyana Hardjapamekas
6. Penulis dan Pendiri Majalah Tempo, Goenawan Mohamad
7. Aktivis dan Akademis,i Hilmar Farid
8. Jaksa Agung Periode 1999-2001, Marzuki Darusman
9. Direktur Utama PLN 2011-2014, Nur Pamudji
10. Pegiat Antikorupsi dan Anggota International Council of Transparency International, Natalia Soebagjo
11. Advokat, Rahayu Ningsih Hoed
12. Pegiat Antikorupsi dan Pendiri Indonesia Corruption Watch (ICW) Todung Mulya Lubis
Selanjutnya: Kasus Radioaktif di Cikande, Jababeka Pastikan Operasional & Target 2025 Tetap Normal
Menarik Dibaca: 10 Prompt Gaya Kasual Hollywood untuk Pria pakai Gemini AI Photo Editor
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News