Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan Duta Besar RI untuk Australia, Najib Riphat Kesoema, untuk kembali bertugas di Canberra, Australia. Hal ini menyusul penilaian pemerintah Indonesia yang menganggap hubungan dengan Australia kembali mencair meski dinyatakan belum pulih sepenuhnya.
Keputusan mengembalikan Duta Besar Najib juga menyusul telepon Perdana Menteri Australia Tony Abbott kepada Presiden SBY pekan lalu.
“Sudah diinstuksikan (kembali ke Australia) dalam rentang waktu 1 bulan ini,” ujar Staf Khusus Kepresidenan bidang Hubungan Luar Negeri, Teuku Faizasyah, saat dihubungi, Senin (12/5/2014).
Faiz menuturkan, hubungan Indonesia-Australia saat ini sudah lebih membaik sehingga Presiden SBY mengizinkan duta besar kembali ke tempat bertugasnya. Salah satu indikator semakin baiknya hubungan itu, kata Faiz, adalah adanya komitmen Australia bernegosiasi dengan Indonesia terkait code of conduct hubungan antara dua negara.
“Bapak Presiden waktu itu menggaris bawahi bahwa harus ada suatu code of conduct, pascainsiden penyadapan. Ini kemudian dalam proses evaluasi, kami mencatat kemajuan dari sisi pembahasan kedua menlu (menteri luar negeri). Saya tidak terlalu tahu apa yang dilaporkan menlu soal teks dalam negosiasi itu,” kata Faiz.
Dia mengatakan, keberadaan duta besar juga diperlukan untuk menuntaskan pembicaraan code of conduct kedua negara. Setelah code of conduct rampung, Faiz menjelaskan, pemerintah Indonesia akan kembali mengkaji pembekuan kerja sama yang dilakukan sebelumnya seperti dalam bidang militer dan penanganan patroli bersama.
Faiz tak menampik keputusan Presiden SBY ini terkait dengan percakapan antara SBY-Abbott melalui telepon pekan lalu. Komunikasi itu dilakukan di sela-sela acara Open Government Partnership yang tak dihadiri Abbott di Bali.
“Di samping Presiden menerima laporan dari Menlu. Telepon itu bisa dilihat sebagai proses menuju normalisasi hubungan. Dengan telepon itu, ada itikad kuat dari pihak Australia untuk menuntaskan persoalan-persoalan itu,” katanya.
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia memanggil Duta Besar RI dari Australia pada bulan November 2013. Hal itu menyikapi pemberitaan penyadapan telepon Presiden SBY dan sejumlah pejabat Indonesia oleh Pemerintah Australia. Pemerintah juga mengkaji ulang seluruh kerja sama yang selama ini telah dibangun kedua negara.
Menurut laporan sejumlah media asing, badan mata-mata Australia telah berusaha menyadap telepon Presiden SBY dan istrinya, Ani Yudhoyono, serta sejumlah menteri dalam kabinet SBY.
Sejumlah dokumen rahasia yang dibocorkan whistleblower asal AS, Edward Snowden, yang berada di tangan Australian Broadcasting Corporation (ABC) dan harian Inggris The Guardian, menyebut nama Presiden SBY dan sembilan orang di lingkaran dalamnya sebagai target penyadapan pihak Australia.
Dokumen-dokumen itu menunjukkan bahwa badan intelijen elektronik Australia, Defence Signals Directorate, melacak kegiatan SBY melalui telepon selulernya selama 15 hari pada Agustus 2009, saat Kevin Rudd dari Partai Buruh menjadi Perdana Menteri Australia.
Daftar target penyadapan juga mencakup Wakil Presiden Boediono, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Juru Bicara Presiden untuk Urusan Luar Negeri, Menteri Pertahanan, serta Menteri Komunikasi dan Informatika. (Sabrina Asril)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News