ILUSTRASI. Jji tembak rudal hipersonik di lokasi yang dirahasiakan di Korea Utara, 5 Januari 2022.
Reporter: Arif Wicaksono | Editor: Amal Ihsan
JAKARTA. Keterbatasan sumber daya frekuensi ditambah banyaknya jumlah operator telekomunikasi di Indonesia membuat implementasi layanan yang berkualitas menjadi sulit. Meskipun, hal ini yang dapat disiasati operator telekomunikasi khususnya antara operator yang memiliki trafik kepadatan layanan tinggi dengan operator yang tidak terlalu padat dari sisi trafik.
Namun, aksi korporasi dalam bentuk akuisisi atau merger terhalang adanya beleid Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2000 tentang Tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio Dan Orbit Satelit. Pada Pasal 25 ayat 1 PP Nomor 53/2000 disebutkan pemegang alokasi frekuensi radio tidak dapat mengalihkan alokasi frekuensi radio yang telah diperolehnya kepada pihak lain.
Kemudian, pada Pasal 25 ayat2 PP Nomor 53/2000 disebutkan bahwa izin stasiun radio tidak dapat dialihkan kepada pihak lain kecuali ada persetujuan dari Menteri.
Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Gatot S Dewabroto, mengatakan, perkembangan regulasi di sektor telekomunikasi sangat sulit untuk mengikuti perkembangan teknologi. "Jujur saja untuk PP Nomor 52 dan 53 tahun 2000 sudah cukup banyak ketinggalan sehingga perlu adanya revisi," ujarnya kepada Kontan, Jumat (28/6).
Saat ini trafik penggunaan layanan operator telekomunikasi baik suara atau voice, short message service (sms), dan data terus mengalami peningkatan. Sedangkan, saat ini setiap operator memiliki frekuensi yang sangat terbatas.
Menurut Gatot, untuk memfasilitasi efisiensi penggunaan frekuensi di sektor telekomunikasi pemerintah tidak berencana untuk merevisi khususnya PP Nomor 53/2000. "Kalau revisi PP-nya itu tanggung. Jadi sekalian saja yang direvisi adalah UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi," ujarnya.
Gatot mengatakan, saat ini posisi revisi UU Telekomunikasi yang merupakan inisiatif pemerintah masih berada di Kemkominfo. "Sebelumnya sudah berada di Kemkumham untuk draft revisi UU Telekomunikasi namun dikembalikan lagi karena masih perlu revisi," ujarnya.
Pembahasan revisi UU Telekomunikasi di Komisi I DPR RI sendiri masih menunggu penyerahan draft lengkap RUU Telekomunikasi dan Daftar Isian Masalah (DIM) dari pemerintah. Sehingga, rencana revisi UU Telekomunikasi memang terbilang masih membutuhkan waktu yang cukup lama.
Dalam revisi UU Telekomunikasi, Gatot tidak menyebutkan secara gamblang adanya izin atau pembolehan akuisisi atau merger tanpa mengembalikan frekuensi yang dimiliki salah satu operator. "Pada intinya ketentuan yang nanti dibuat mengikuti perkembangan teknologi khususnya disektor telekomunikasi," ujarnya.
Gatot menambahkan, dalam hal penyiasatan regulasi bisa saja operator melakukan merger tapi dalam tingkat induk perusahaan. Ia menyamakan dengan kasus merger yang terjadi antara stasiun televisi SCTV dengan Indosiar.
Namun, menurut Gatot, saat ini pihak operator telekomunikasi sangat berhati-hati untuk melakukan merger atau akuisisi. "Karena kalau ada pelanggaran maka frekuensi harus dikembalikan kepada negara," ujarnya.
Gatot mengatakan, maksimal akhir tahun ini pemerintah akan segera menyerahkan DIM revisi UU Telekomunikasi kepada DPR. Sehingga bisa saja UU Telekomunikasi yang baru bisa disahkan pada tahun depan atau 2014.
Gatot juga menyinggung, adanya laporan bahwa PT XL Axiata berencana untuk melakukan merger dengan PT Axis Telekom Indonesia. Namun, Ia mengatakan, belum menerima konsep yang jelas atau pasti terkait aksi korporasi yang akan dilakukan kedua perusahaan.
Sebagai info, hingga akhir Maret 2013, XL mempunyai 49,1 juta pelanggan, sementara Axis memiliki 17 juta lebih pelanggan per akhir 2012. Jika digabung, XL dan Axis akan mempunyai lebih dari 66 juta pelanggan nantinya.
Nah, sebagai gambaran dengan adanya penggabungan, maka kedua perusahaan akan memiliki total lima kanal 3G yaitu untuk blok 8, 9, 10, 11, dan 12. Sehingga, trafik layanan pelanggan akan semakin lancar, ibarat jalan tol yang bebas dari hambatan.
JAKARTA. Keterbatasan sumber daya frekuensi ditambah banyaknya jumlah operator telekomunikasi di Indonesia membuat implementasi layanan yang berkualitas menjadi sangat berat. Meskipun, hal ini yang dapat disiasati operator telekomunikasi khususnya antara operator yang memiliki trafik kepadatan layanan tinggi dengan operator yang tidak terlalu padat dari sisi trafik.
Namun, aksi korporasi dalam bentuk akuisisi atau merger terhalang adanya beleid Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2000 tentang Tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio Dan Orbit Satelit. Pada Pasal 25 ayat 1 PP Nomor 53/2000 disebutkan pemegang alokasi frekuensi radio tidak dapat mengalihkan alokasi frekuensi radio yang telah diperolehnya kepada pihak lain.
Kemudian, pada Pasal 25 ayat2 PP Nomor 53/2000 disebutkan bahwa izin stasiun radio tidak dapat dialihkan kepada pihak lain kecuali ada persetujuan dari Menteri.
Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Gatot S Dewabroto, mengatakan, perkembangan regulasi di sektor telekomunikasi sangat sulit untuk mengikuti perkembangan teknologi. "Jujur saja untuk PP Nomor 52 dan 53 tahun 2000 sudah cukup banyak ketinggalan sehingga perlu adanya revisi," ujarnya kepada Kontan, Jumat (28/6).
Seperti diketahui, saat ini trafik penggunaan layanan operator telekomunikasi baik suara atau voice, short message service (sms), dan data terus mengalami peningkatan. Sedangkan, saat ini setiap operator memiliki frekuensi yang sangat terbatas.
Menurut Gatot, untuk memfasilitasi efisiensi penggunaan frekuensi di sektor telekomunikasi pemerintah tidak berencana untuk merevisi khususnya PP Nomor 53/2000. "Kalau revisi PPnya itu tanggung. Jadi sekalian saja yang direvisi adalah UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi," ujarnya.
Gatot mengatakan, saat ini posisi revisi UU Telekomunikasi yang merupakan inisiatif pemerintah masih berada di Kemkominfo. "Sebelumnya sudah berada di Kemkumham untuk draft revisi UU Telekomunikasi namun dikembalikan lagi karena masih perlu revisi," ujarnya.
br />
span style="background-color: transparent; font-size: 16px;">Pembahasan revisi UU Telekomunikasi di Komisi I DPR RI sendiri masih menunggu penyerahan draft lengkap RUU Telekomunikasi dan Daftar Isian Masalah (DIM) dari pemerintah. Sehingga, rencana revisi UU Telekomunikasi memang terbilang masih membutuhkan waktu yang cukup lama.
Dalam revisi UU Telekomunikasi, Gatot tidak menyebutkan secara gamblang adanya izin atau pembolehan akuisisi atau merger tanpa mengembalikan frekuensi yang dimiliki salah satu operator. "Pada intinya ketentuan yang nanti dibuat mengikuti perkembangan teknologi khususnya disektor telekomunikasi," ujarnya.
Gatot menambahkan, dalam hal penyiasatan regulasi bisa saja operator melakukan merger tapi dalam tingkat induk perusahaan. Ia menyamakan dengan kasus merger yang terjadi antara stasiun televisi SCTV dengan Indosiar.
Namun, menurut Gatot, saat ini pihak operator telekomunikasi sangat berhati-hati untuk melakukan merger atau akuisisi. "Karena kalau ada pelanggaran maka frekuensi harus dikembalikan kepada negara," ujarnya.
Gatot mengatakan, maksimal akhir tahun ini pemerintah akan segera menyerahkan DIM revisi UU Telekomunikasi kepada DPR. Sehingga bisa saja UU Telekomunikasi yang baru bisa disahkan pada tahun depan atau 2014.
Gatot juga menyinggung, adanya laporan bahwa PT XL Axiata berencana untuk melakukan merger dengan PT Axis Telekom Indonesia. Namun, Ia mengatakan, belum menerima konsep yang jelas atau pasti terkait aksi korporasi yang akan dilakukan kedua perusahaan.
Sebagai info, hingga akhir Maret 2013, XL mempunyai 49,1 juta pelanggan, sementara Axis memiliki 17 juta lebih pelanggan per akhir 2012. Jika digabung, XL dan Axis akan mempunyai lebih dari 66 juta pelanggan nantinya.
Nah, sebagai gambaran dengan adanya penggabungan, maka kedua perusahaan akan memiliki total lima kanal 3G yaitu untuk blok 8, 9, 10, 11, dan 12. Sehingga, trafik layanan pelanggan akan semakin lancar, ibarat jalan tol yang bebas dari hambatan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Reporter: Arif Wicaksono
Editor: Amal Ihsan