Reporter: Asnil Bambani Amri | Editor: Asnil Amri
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lebih dari satu dekade, pembahasan Rancangan Undang-undang Masyarakat Adat tertunda di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Desakan agar RUU Masyarakat Adat ini segera disahkan juga kembali digulirkan, salah satunya oleh Abdon Nababan, perwakilan Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat saat diskusi bertajuk “Ekonomi Kerakyatan dan Pengakuan Masyarakat Adat” di SleepLess Owl, Jakarta Selatan.
Diskusi tersebut menyoroti tentang pentingnya system ekonomi dan kelestarian lingkungan yang berbasis masyarakat adat. “Kami ingin RUU Masyarakat Adat disahkan agar masyarakat adat menjadi subjek pembangunan, bukan objeknya. Mereka tidak menolak investasi, selama tidak merusak tanah adat dan mereka dilibatkan dalam pengambilan keputusan,” tegas Abdon dalam siaran pers, Kamis (9/10).
Adapun Perwakilan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Annas Raden Syarif, bilang, masyarakat adat memiliki peran strategis dalam menopang ekonomi bangsa. Selain menjaga kebhinekaan sekaligus sumber daya alam, masyarakat adat jugamenjadi potensi ekonomi bagi daerah.
Baca Juga: Promo 10.10 di J.CO-Chatime & Mako Bakery Oktober 2025, Ada Buy 1 Get 1
Dari hasil pemetaan AMAN, terdapat lebih dari 1.000 komunitas masyarakat adat yang menguasai wilayah seluas 33,6 juta hektar. Satu wilayah adat saja bisa memiliki potensi ekonomi hingga Rp1 miliar. “Pengakuan hak atas tanah adat dengan basis peta yang jelas akan mendorong tumbuhnya ekonomi lokal dan pembangunan berkelanjutan,” tambahnya.
Ledia Hanifa Amaliah, Sekretaris Fraksi PKS DPR RI yang hadir dalam diskusi menyambut baik inisiatif diskusi ini. Ia menekankan pentingnya kejelasan definisi masyarakat adat agar tidak menimbulkan tumpang tindih klaim.
“RUU ini harus memberi definisi yang jelas dan adil. Masyarakat adat telah hidup ratusan tahun sebelum adanya klaim administratif. Selain itu, potensi ekonomi masyarakat adat sangat besar dan perlu diberdayakan melalui kebijakan yang berpihak,” ungkap Ledia.
Sementara itu, Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda, mengingatkan bahwa kebijakan ekonomi harus berpihak dan tidak menambah ketidakpastian bagi masyarakat adat. Sistem ekonomi yang ekstraktif dari negara saat ini, tidak menerapkan prinsip berkelanjutan.
Baca Juga: Soal Kelanjutan Subsidi Motor Listrik pada 2026, Menko Airlangga: Belum Dibahas
Sementara, ekonomi masyarakat adat justru lebih inklusif dan kolektif, seperti melalui pariwisata berbasis komunitas. Dalam sistem kapitalis, tenaga manusia disebut labour; dalam sistem adat, mereka bagian dari komunitas.
Nilai komunitas ini bisa menjadi dasar baru dalam menghitung ekonomi berbasis masyarakat adat, kata Huda. Ia menambahkan bahwa mempertahankan ekonomi ekstraktif hanya akan merugikan bangsa sendiri. “Kita harus beralih ke model ekonomi yang inklusif, baik bagi manusia maupun alam,” tegasnya.
Sementara itu, Anggota DPR RI Fraksi PKS, Riyono menegaskan sikap dan komitmen partainya untuk mengawal proses legislasi RUU ini. Ia bilang. maskah akademik sudah ada dan telah diajukan ke DPR. Namun, karena belum dibahas bersama pemerintah, RUU ini tidak bisa di-carry over. “Kami harus memperjuangkan pembahasan lintas partai dan lintas pendekatan. PKS berkomitmen mengawal agar RUU Masyarakat Adat segera disahkan,” ujarnya.
Guru Besar Universitas Padjadjaran, Zuzy Anna, menyoroti pentingnya penguatan institusi adat sebagai modal ekonomi. Masyarakat adat memiliki nilai dan produktivitas yang luar biasa, meskipun belum tercatat dalam sensus ekonomi. Jika diukur dengan standar UMR, penghasilan mereka bahkan bisa lebih tinggi.
Kekuatan utama masyarakat adat terletak pada institusi sosial, inilah deep determinant ekonomi masyarakat adat, jelas Zuzy. Penguatan institusi adat akan memperkuat kemampuan mereka untuk menciptakan nilai ekonomi secara berkelanjutan, lanjutnya.
Selanjutnya: Jaga Kualitas Aset, Biaya Pencadangan KB Bank Dipangkas 98,9% per Agustus 2025
Menarik Dibaca: Promo Hypermart Dua Mingguan 9-22 Oktober 2025, Ubi Cilembu-Es Krim Box Diskon 20%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News