kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45897,60   4,88   0.55%
  • EMAS1.365.000 -0,22%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Rupiah Tertekan di Tengah Surplus Neraca Dagang, Ini Penjelasan Ekonom


Selasa, 13 Desember 2022 / 17:25 WIB
Rupiah Tertekan di Tengah Surplus Neraca Dagang, Ini Penjelasan Ekonom


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Neraca perdagangan Indonesia masih mencetak surplus. Bahkan surplus neraca perdagangan pada Oktober 2022 tercatat sebesar US$ 5,67 miliar. Neraca perdagangan pada periode ini mengalami surplus selama 30 bulan berturut-turut, sejak Mei 2020.

Ekonom BNI Sekuritas Damhuri Nasution menilai bahwa surplus neraca dagang justru telah mengangkat Rupiah. Hal ini lantaran, apabila neraca dagang defisit, maka gejolak eksternal yang terjadi saat ini bisa membuat Rupiah tertekan lebih dalam.

Untuk itu, dirinya mengatakan bahwa masih ada penyebab lain yang membuat mata uang Garuda mengalami pelemahan meskipun neraca dagang Indonesia masih mencetak surplus, salah satunya adalah kebijakan The Fed yang agresif dalam menaikkan suku bunganya.

Baca Juga: Proyeksi Neraca Perdagangan Indonesia di Bulan November 2022

"Yang membuat Rupiah tetap bergejolak di tengah-tengah neraca dagang yang surplus adalah kenaikan suku bunga The Fed yang agresif," ujar Damhuri kepada Kontan.co.id, Selasa (13/12).

Damhuri menilai, pergerakan Rupiah tidak akan terlalu jauh beranjak dari posisi sekarang. 

Menurutnya kenaikan suku bunga The Fed menjadi faktor yang menekan nilai tukar Rupiah. Untuk itu, dirinya memperkirakan nilai tukar Rupiah masih akan berada dalam kisaran Rp 15.450 hingga Rp 15.650 per dolar Amerika Serikat (AS). 

"Sampai dengan akhir tahun tekanan terhadap Rupiah masih kuat, mengingat The Fed masih akan menaikkan bunganya dalam FOMC meeting bulan Februari 2023," kata Damhuri.

Sama halnya dengan Damhuri, Chief Economist PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) Banjaran Surya Indratomo mengatakan bahwa pelemahan Rupiah tersebut imbas dari kebijakan The Fed yang agresif dalam menaikkan suku bunganya, meskipun neraca dagang masih tercatat surplus.

Baca Juga: Perbankan Melanjutkan Kenaikan Suku Bunga Simpanan Dollar Amerika

"Tekanan terhadap Rupiah eksternal, faktornya tidak hanya dagang tetapi ada fundamental, stabilitas. Ini dollarisation namanya," kata Banjaran.

Sementara itu, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto justru heran dengan surplusnya neraca dagang yang justru menekan nilai Rupiah. Hal ini lantaran, kata Eko, dengan neraca dagang yang tercatat surplus seharusnya bisa membuat Rupiah menguat.

Bahkan dirinya khawatir, Rupiah akan tertekan lebih dalam ditahun depan akibat kondisi global yang tidak menentu meskipun neraca dagang masih berpotensi surplus. Ia memperkirakan nilai Rupiah akan berada pada angka Rp 16.000 per dolar AS di tahun depan.

"Dalam posisi surplus saja Rupiah kita bisa tertekan. Terbayang gak, kalau tahun depan potensi defisitnya tinggi loh. Itu apa gak lebih tertekan," ucap Eko dalam acara Indef: Efek Resesi Global Terhadap Ekonomi Politik Indonesia 2023, Selasa (13/12). 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Pre-IPO : Explained Supply Chain Management on Efficient Transportation Modeling (SCMETM)

[X]
×