Reporter: Herlina KD, Adi Wikanto, Asep Munazat Zatnika, Lamgiat Siringoringo |
JAKARTA. Tekanan terhadap nilai tukar rupiah semakin menguat. Kali ini, tekanan datang dari defisit neraca dagang yang kembali memerah.
Badan Pusat Statistik (BPS), neraca dagang sepanjang Februari 2013 minus US$ 327,4 juta. Jika ditambah dengan defisit bulan Januari yang sebesar US$ 74,7 juta, neraca dagang Indonesia sudah minus US$ 402,1 juta
Penyebab defisit adalah impor Indonesia sepanjang Februari 2013 mencapai US$ 11,67 miliar, naik 1,6% ketimbang Januari 2013. Sementara ekspor menyusut 2,5% dari US$ 15,38 miliar di Januari, menjadi US$ 14,98 miliar di Februari 2013.
Kondisi ini membuat suplai valuta asing ke dalam negeri kian mengecil, ketimbang kebutuhan valas untuk membayar impor.
Ini pula yang membuat otot rupiah melemas, terpukul defisit neraca dagang. Rupiah kemarin (1/4) ditutup ke level 9.735 per dollar Amerika Serikat (AS), melemah 0,7% sejak awal 2013. "Neraca perdagangan defisit berdampak negatif ke nilai tukar," tandas Lana Soelistyaningsih, Ekonom Samuel Sekuritas (1/4).
Lana bilang, secara teknikal tukar rupiah masih berpotensi melemah. Tekanan rupiah ini sejalan dengan melemahnya mata uang regional. Jika rupiah terus melemah, Lana memprediksi level dasar aliasĀ support berikutnya Rp 9.980 per dollar AS.
Ia berharap Bank Indonesia bisa menjaga rupiah agar tak semakin melemah. Jika rupiah tembus di atas Rp 10.000 per dollar AS, support berikutnya yang akan dituju rupiah adalah Rp 10.200 per dollar AS.
Namun, Kepala Ekonom Bank Mandiri Destri Damayanti yakin tekanan terhadap tukar hanya sementara. Ia memprediksi hingga semester I, nilai tukar rupiah bergerak di kisaran Rp 9.700-Rp 9.900 per dolar. "Semester II akan menguat ke level Rp 9.600-Rp 9.700," ujarnya. Ia memprediksi ekspor akan menguat, sedang impor melemah mulai pertengahan tahun.
Ahmad Fajar, Direktur Treasury & International Banking Bank Mutiara menyebutkan, bahwa defisit neraca perdagangan hanyalah salah satu faktor penyebab naik-turunnya nilai tukar.
Ia melihat fundamental rupiah masih kuat dan ketersedian valas di pasar juga masih cukup. "Apalagi, BI juga terus melakukan operasi pasar," jelas Ahmad.
Kepala BPS Suyamin bilang, jurang defisit neraca dagang masih bersumber dari impor bahan bakar minyak. Impor migas selama Januari dan Februari lalu mencapai US$ 7,61 miliar. Padahal ekspornya cuma US$ 5,19 miliar. Alhasil, defisit US$ 2,42 miliar.
Sementara, hasil perdagangan non migas hanya surplus US$ 2,02 miliar karena permintaan pasar global masih lemah.
Tanpa keberanian memangkas impor migas dengan mengerek harga bakar minyak (BBM) dalam negeri, otot rupiah berpotensi terus melemah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News