kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   -13.000   -0,85%
  • USD/IDR 16.200   -20,00   -0,12%
  • IDX 7.066   -30,70   -0,43%
  • KOMPAS100 1.055   -6,75   -0,64%
  • LQ45 830   -5,26   -0,63%
  • ISSI 215   0,27   0,12%
  • IDX30 424   -2,36   -0,55%
  • IDXHIDIV20 513   -0,30   -0,06%
  • IDX80 120   -0,79   -0,65%
  • IDXV30 124   -1,30   -1,04%
  • IDXQ30 142   -0,32   -0,23%

Rupiah melemah, bunga tak perlu naik


Minggu, 03 Juni 2012 / 23:51 WIB
Rupiah melemah, bunga tak perlu naik
ILUSTRASI. Kawasan industri Indonesia Weda Bay Industrial Park


Reporter: Herlina Kartika, Agus Triyono | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Beberapa pekan terakhir, kurs rupiah kelabakan menghadapi dollar Amerika Serikat (AS). Akhir pekan lalu, menurut kurs tengah Bank Indonesia (BI), rupiah ditutup di level Rp 9.333 per dollar AS. Bank Indonesia (BI) sendiri berusaha menjaga agar nilai tukar rupiah tidak terus loyo. Salah satunya, dengan rencana penerbitan term deposit valuta asing.

Instrumen lain pengendali rupiah adalah lewat suku bunga acuan (BI rate). Melihat pergerakan rupiah sekarang, pertanyaannya, apakah BI perlu mengutak-atik BI rate bulan ini pada rapat Dewan Gubernur BI yang berlangsung pekan depan?

Menurut pendapat David Sumual, seorang ekonom, BI belum perlu menaikkan BI rate di bulan Juni ini bila bertujuan menahan rupiah. Lagi pula, meski nilai tukar rupiah melemah, dari sisi tekanan inflasi justru malah mereda.

Buktinya, inflasi pada bulan Mei 2012 terbilang rendah. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi bulan Mei hanya 0,07% dengan inflasi tahunan 4,45%. "Kemungkinan besar BI akan mempertahankan BI rate di level 5,75%," ujarnya, Minggu (3/6).

David menyarankan sebaiknya BI menggunakan instrumen lain untuk menjaga stabilitas moneter. Ambil contoh, BI bisa saja menaikkan suku bunga instrumen moneter seperti suku bunga Fasilitas BI (Fasbi) yang saat ini masih di bawah BI rate.

Menahan BI rate di level 5,75% juga tak akan membuat rupiah goyah. Farial Anwar, pengamat pasar uang bilang, rupiah melemah bukan karena imbal hasil yang tak menarik. Tapi, lebih faktor eksternal yakni efek krisis utang Eropa yang berlarut-larut.

Ia mencontohkan, saat krisis 1997/1998 silam, suku bunga dikerek tinggi, toh rupiah jebol juga hingga Rp 17.000 per dollar AS. "Tidak ada hubungan kenaikan suku bunga lalu serta merta kurs rupiah menguat," kata Farial.

Demikian pula pendapat Kepala Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti. Ia menilai BI belum memiliki alasan kuat untuk menaikkan BI rate, kendati rupiah sedang lunglai. Maklum, BI rate lebih sebagai instrumen pengendali inflasi. Nah, sekarang ekspektasi inflasi mereda. "Sehingga BI sepertinya masih akan menahan BI rate di 5,75%," ujarnya.

Untuk menahan rupiah agar tidak terperosok, menurut Destry, sebaiknya BI melakukan intervensi di pasar. Selain itu, BI juga perlu segera merilis kebijakan term deposite dollar.

Pendapat berbeda datang dari ekonom Universitas Gajah Mada (UGM) Tony Prasetyantono. Ia bilang, BI sebaiknya menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin ke level 6%. Sebab, jika BI rate tidak naik, BI harus mengintervensi rupiah dalam jumlah besar. "Ini juga untuk mencegah kepanikan."

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×