Reporter: Margareta Engge Kharismawati, Anna Suci Perwitasari, Asep Munazat Zatnika | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Tekanan terhadap neraca perdagangan Indonesia tak kunjung pulih. Kondisi ini yang membuat nilai tukar rupiah sulit bangkit.
Kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, bulan Mei 2013, defisit neraca perdagangan mencapai US$ 590,4 juta. Ini berarti sepanjang Januari-Mei 2013, defisit neraca dagang mencapai US$ 2,5 miliar. Angka ini cukup besar, mengingat, pada periode yang sama di tahun-tahun sebelumnya selalu tercatat surplus.
Kondisi inilah yang membuat otot tukar rupiah loyo. Kurs tengah rupiah terhadap dollar Amerika Serikat AS di Bank Indonesia (B), Senin (2/7) lalu ditutup pada level Rp 9.934, sedikit melemah jika dibandingkan penutupan Jumat (28/6) yang mencapai Rp 9.929 per dollar AS.
Rupiah tampaknya masih akan kehilangan geliatnya. Lantaran, Deputi Kepala BPS Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Sasmito Hadi Wibowo memprediksi impor bakal menanjak di bulan Juli ini, seiring lonjakan konsumsi masyarakat menjelang puasa dan Lebaran. "Sulit untuk surplus, saya khawatir bulan Juni-Juli masih defisit," katanya (1/7).
Kepala BPS Suryamin berharap, perbaikan indikator ekonomi global bisa mendongkrak nilai ekspor Indonesia. Sepanjang Mei 2013, ekspor Indonesia mencapai US$ 16,07 miliar, naik 8,9% dari ekspor April 2013 yang sebesar US$ 14,76 miliar. Salah satu komoditas andalan adalah ekspor minyak sawit mentah (CPO) yang naik, baik volume maupun nilai.
BI menilai, perkembangan ekspor, impor, dan neraca perdagangan Mei sesuai perkiraannya. Pemulihan ekonomi global mendorong kenaikan ekspor Indonesia pada bulan Mei. Ekspor tertinggi bersumber dari kelompok barang manufaktur, diikuti kelompok barang primer.
Ini pula yang membuat tekanan defisit neraca dagang sedikit berkurang. Defisit neraca dagang di bulan Mei 2013 menurun dibandingkan April 2013 yang mencapai US$ 1,62 miliar. "Ini bisa menjadi berkah penguatan rupiah," ujar Asisten Gubernur Bank Indonesia Mulya Siregar.
Direktur Eksekutif Pengelolaan Devisa BI Treesna Wilda Suparyono menambahkan, berkurangnya defisit neraca perdagangan bulan Mei menjadi obat kuat rupiah. Apalagi, kata dia, selama ini, rupiah mengalami tekanan terbesar dari faktor eksternal, yakni penguatan dollar AS.
Kepala Ekonom BII Juniman juga yakin, nilai tukar rupiah bisa menguat di kisaran Rp 9.800-Rp 9.900 hingga akhir tahun ini. Ia melihat obat kuat rupiah bukan cuma neraca perdagangan, tapi juga dari masuknya dana-dana asing.
Saat ini, dana-dana asing masih wait and see menunggu kebijakan bank sentral. BI akan mengerem laju inflasi yang melaju kencang dengan menaikkan bunga acuan atau BI rate. Saat inflasi menyentuh 7%, prediksi Juniman, BI rate akan naik 25 basis poin ke 6,25%. Jika inflasi menjadi 8% BI Rate naik jadi 6,5%.
Jika ini terjadi, hot money akan kembali masuk dan menjadi obat kuat rupiah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News