Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Setelah sempat menguat, rupiah kembali melemah kemarin (4/12). Kurs Tengah Bank Indonesia (BI) pada Rabu (4/12) tercatat 11.960 per dolar Amerika Serikat (AS).
Sebelumnya, pada selasa (3/12) kurs tengah rupiah di level Rp 11.830 per dolar AS. BI melihat pelemahan rupiah yang terjadi sekarang ini tak dipungkiri salah satu penyebabnya berasal dari sentimen pasar.
Direktur Eksekutif Departemen Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter BI, Dody Budi Waluyo mengatakan, kisaran inflasi sekarang ini berada di 8% dan seharusnya nominal rupiah yang terdepresiasi mengikuti kisaran inflasi.
"Namun kenyataannya rupiah sekarang terdepresiasi 22%," ujar Dody, Rabu (4/12). Depresiasi ini tak lepas dari sentimen sekarang.
Yang menjadi tugas BI sekarang adalah bagaimana bisa masuk dalam sentimen pasar tersebut?
Menurut Dody, korporasi cenderung mempunyai ekspetasi tertentu terhadap nilai tukar. Makanya, ketika melihat kondisi fundamental Indonesia yang masih relatif tinggi nominal current account defisit atawa defisit transaksi berjalannya, mereka menahan untuk melepas
dolarnya.
Padahal, dengan kondisi permintaan dolar yang tinggi saat ini, kebutuhan pasokan dolar masih minim. Asal tahu saja, BI mencatat utang luar negeri swasta yang jatuh tempo pada Desember 2013 mencapai US$ 8 miliar.
Mayoritas utang jatuh tempo tersebut milik korporasi non bank yakni mencapai US$ 5,92 miliar.
Belum lagi ditambah kebutuhan importir akan dolar untuk melakukan aktivitas impornya sehari-hari.
Di samping itu, PT Pertamina pun membutuhkan tambahan valas sebesar US$ 1 miliar untuk menyelesaikan akuisisi blok migas milik Hess Corporation di Thailand. Terbayang seberapa besarnya kebutuhan dolar di akhir tahun ini.
Dody menjelaskan BI tidak mengarahkan rupiah untuk terus melemah. Nilai tukar rupiah sekarang ini memang mengindikasikan bahwa permintaan akan dolar yang sedang tinggi, sedangkan dari sisi supplynya belum ada pemasukan yang berarti.
BI dalam hal ini mempunyai hitungan tersendiri mengenai fundamental rupiah. Fundamental ini dilihat dari kondisi defisit neraca transaksi berjalan dan perhitungan inflasi.
"Jadi kondisi sekarang ini adalah level yang masuk fundamental kita, sehingga kita tidak coba mengarahkan pasar," tandasnya.
Managing Director Pasar Global HSBC Indonesia Ali Setiawan melihat pelemahan yang kembali dialami rupiah kali ini adalah lebih kepada permintaan pasar. Permintaan perusahaan akan dolar tinggi sekali dan kebanyakan digunakan untuk repatriasi income.
Akhir tahun Rp 11.500-Rp 12.000
Hal ini diperberat dengan tidak adanya supply dolar yang memadai. Kebutuhan akan dolar dapat diperhitungkan BI setiap waktunya, namun soal pasokan yang memagn tidak dapat diprediksi. Nah, di sini eksportir memang berspekulasi. "Ini masih defisit (transaksi
berjalan), saya jaga dulu dolarnya," papar Ali.
Maka dari itu, dalam hal ini pemerintah perlu memberikan insentif mengenai repatriasi perusahaan-perusahaan asing.
Kalau tidak diberikan insentif maka persoalan permintaan dolar untuk repatriasi ini akan terus terjadi setiap tahunnya dan membuat tekanan besar pada rupiah.
Hingga akhir tahun ini, Ali melihat rupiah akan bergerak di kisaran Rp 11.500-Rp 12.000 per dolar AS. Di lain pihak, Kepala Ekonom Bank Danamon Anton Gunawan melihat pelemahan rupiah yang terjadi sekarang ini lebih kepada sentimen pasar.
Sentimen akibat adanya permintaan dan penawaran akan dolar yang tinggi sekarang ini. Ditambah dengan kondisi defisit transaksi berjalan Indonesia yang masih tinggi.
Berdasarkan perhitungannya, rupiah fundamentalnya berada sedikit di bawah Rp 11.000 atau pas di level Rp 11.000 per dolar AS. Maka itu, sentimen ini harus diredam pemerintah dan BI. "Jangan sampai kurs kita bergerak liar," papar Anton.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News