Reporter: Dina Farisah | Editor: Dadan M. Ramdan
JAKARTA. Kerjasama perdagangan bebas ASEAN-China Free Trade Agrement (ACFTA) menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Kerjasama tersebut justru lebih menguntungkan pihak China ketimbang Indonesia.
Akibat ACFTA, produk impor asal Negeri Tembok Raksasa itu membanjiri pasar Indonesia, sehingga neraca dagang kita dengan China defisit. Atas dasar itulah, pemerintah berjanji akan lebih berhati-hati dalam menjalin kerjasama perdagangan bebas dengan negara lain.
Maka itu, Dyah Winarni Poedjiwati, Sesdijten Kerjasama Industri Internasional, Kementerian Perindustrian bilang, pemerintah akan memasukkan poin evaluasi dalam rencana perjanjian Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) dengan Uni Eropa dan Korea Selatan yang saat ini masih dalam tahap negosiasi. "Setelah merasakan dampak ACFTA, kami usulkan agar perjanjian yang akan datang harus bisa dievaluasi," jelas Dyah, Jumat (31/8).
Sebelumnya, dalam ACTFA, tidak terdapat poin evaluasi jika terjadi kerugian terhadap salah satu negara. Ketentuan tersebut baru dimasukan dalam kerjasama Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA).
Menurut Dyah, evaluasi FTA bisa dilakukan dalam waktu tertentu, misalnya lima tahun sekali. Sehingga, bila dalam perjalanannya FTA merugikan, bisa dilakukan koreksi. Bahkan, FTA harus dimungkinkan untuk bisa dibatalkan. "Bila poin evaluasi tidak terakomodasi dalam perjanjian, lebih baik tidak melakukan FTA sama sekali," tandas Dyah.
Untuk itu, Dyah menyebutkan beberapa strategi pengamanan industri yang perlu dilakukan sebelum memberlakukan FTA. Pertama, mengetahui manfaat kerjasama itu bagi perekonomian nasional. Kedua, menginventarisasi hambatan-hambatannya. Ketiga, memilah sektor mana yang sudah siap dan belum. Keempat, FTA maupun CEPA harus dikaitkan dengan komitmen investasi.
Ina Primiana, anggota Lembaga Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan Ekonomi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) mengingatkan pemerintah agar tidak terburu-buru menjalin FTA. "Indonesia belum siap," katanya.
Uni Eropa memang banyak berinvestasi di Indonesia, namun harus dilihat seberapa besar ekspor Indonesia yang bisa masuk ke kawasan tersebut. Sebab, standar perdagangan yang diterapkan Uni Eropa sangat ketat.
Selain itu, pemerintah harus fokus menyelesaikan permasalahan internal terkait daya saing. "Selesaikan dulu masalah infrastruktur, birokrasi, kepastian hukum, kebijakan yang kontra produktif dan sistem logistik," ujar Ina.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News