kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

RI harus kaji sektor dagang pasca Trump pimpin AS


Kamis, 15 Desember 2016 / 17:08 WIB
RI harus kaji sektor dagang pasca Trump pimpin AS


Reporter: Handoyo | Editor: Adi Wikanto

JAKARTA. Pemerintah diminta untuk bergerak cepat menyikapi kebijakan politik dan ekonomi yang dilontarkan oleh presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump. alternafif kajian di sektor perdagangan perlu dibuat untuk dapat mengambil kesempatan atas kebijakan Trump.

Di sektor perdagangan, Indonesia memiliki peluang di tengah resistensi yang diwacanakan oleh Trump saat resmi duduk sebagai Presiden AS pertengahan Januari mendatang. Apalagi AS akan memangkas besar-besaran impor yang berasal dari China dan Meksiko agar neraca perdagangan positif.

Terpilihnya Trump juga mengubah pola perjanjian perdagangan yang selama ini telah berjalan contohnya kemitraan lintas pasifik atau Trans-Pacific Partnership (TPP). Trump kecenderungannya lebih mendorong untuk melakukan perjanjian perdagangan secara bilateral.

Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengatakan, di tengah proteksionisme saat ini perjanjian perdagangan trennya sudah mulai bergeser tidak lagi dalam bentuk skala besar seperti regional.

Pasalnya, dalam perjanjian perdagangan internasional skala regional sulit menyatukan kepentingan-kepentingan yang diharapkan dari para anggota supaya satu suara. Dengan terbatas pada bilateral maka bentuk perjanjian menjadi lebih fokus dan tidak terlalu banyak ikatan.

Oleh karena itu, Yose menilai pemerintah Indonesia harus dapat memanfaatkan waktu yang ada untuk dapat melakukan pendekatan-pendekatan dengan pihak AS agar dapat menjalin kerjasama dari kedua negara tersebut. "Indonesia memiliki waktu untuk mempertimbangkan adanya perjanjian-perjanjian bilateral, jangan bersantai-santai," kata Yose, Kamis (15/12).

Mohamad Faizal, Direktur Riset CORE Indonesia bilang, kesempatan Indonesia meningkatkan perdagangan dengan AS masih sangat terbuka lebar. Rencana Trump yang akan memotong pajak individu dan mengenjot pembangunan infrastruktur menjadi peluang terbesar Indonesia lebih meningkatkan kinerja ekspor.

Bila kebijakan itu diterapkan, konsumsi masyarakat di AS akan meningkat. Selain itu, impor bahan baku penolong dan energi juga akan tetap berjalan. "Oleh karena itu kajian harus segera dibuat agar mendapat gambaran-gambaran peluang pasar atas kebijakan yang akan diterapkan di AS," ujar Faizal.

Dengan langkah Trump yang akan diambil yakni merestruksi dan menekan defisit perdagangan khususnya dengan China dan Meksiko, maka Indonesia berpeluang untuk menjadi subsitusi. Namun demikian, perlu ada perbaikan agar daya saing produk yang dihasilkan lebih kompetitif. Di Asean saja, Indonesia masih kalah dengan Vietnam.

Menurut Didik J Rachbini Kepala Badan Lembaga Penelitian, Pengembangan dan Pengkajian Ekonomi (LP3E) Kadin, politik perdagangan di Indonesia masih lemah dan kurang mendapat perhatian. Kontrol Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terksit dengan hail ini juga sangat minim.

Jim Mullinax Economic Counselor US Embassy mengatakan, saat ini arah kebijakan dari Trump masih belum dapat ditebak. Namun demikian, dengan hubungan baik yang telah terjadi selama ini antara Indonesia dan AS akan semakin membuat kerjasama kedua negara lebih kuat.

Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan (Kemdag) Tjahja Widayanti bilang kajian pasca terpilihnya Trump menjadi Presiden AS memang belum dilakukan. Namun demikian, pada 2017 pihaknya akan melakukan kajian lebih komprehensif terhadap beberapa negara lain tidak hanya AS.

Namun demikian, penguatan resistensi terhadap produk impor yang masuk ke AS, Tjahja mengatakan bila hal itu berpotensi berimbas pada Indonesia. "Trump memperkuat trade remedies, pelanggaran terkait antidumping subsidi akan banyak dialami Indonesia, kita masih menduga-duga," kata Tjahja.

Sementara itu, terkait dengan kajian terhadap TPP dan RCEP yang dilakukan, menurut Tjahja Cina merupakan negara yang paling memperoleh manfaat besar bila TPP tidak jadi diimplementasikan. Cina akan mendapat akses pasar yang lebih ke negara-negara Asia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×