kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Ekspor-impor sudah kecanduan dollar


Jumat, 09 Desember 2016 / 18:03 WIB
Ekspor-impor sudah kecanduan dollar


Reporter: Asep Munazat Zatnika | Editor: Adi Wikanto

JAKARTA. Keinginan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar pelaku usaha tidak lagi berpatokan pada mata uang Dollar Amerika Serikat (AS) tidak mudah terealisasi. Meskipun, bukan mitra dagang utama Indonesia, tetapi sejauh ini transaksi perdagangan Indonesia dengan semua negara masih menggunakan The Greenback alias dollar AS.

Boleh dikata, kegiatan ekspor impor Indonesia sudah kecanduan dollar AS. Hampir semua perdagangan ekspor-impor menggunakan mata uang dollar AS.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengatakan, jika nilai transaksi perdagangan Indonesia yang selama ini menggunakan Dollar AS dikurangi, maka ketergantungan kita terhadap mata uang paman sam itu berkurang.

Dengan begitu nilai tukar rupiah berpotensi untuk terus menguat. "Mengganti mata uang perdagangan bisa dilakukan sebagian," ujar Bambang, kamis (9/12).

Namun demikian, semua itu tergantung dengan perjanjian perdagangan yang dibuat, baik oleh korporasi atau pelaku usaha maupun oleh pemerintah. Seperti diketahui, perjanjian kerjasama perdagangan memang tidak hanya dilakukan oleh swasta namun juga pemerintah.

Saat ini transaksi perdagangan Indonesia paling besar dilakukan dengan negara seperti China, Jepang, AS, India dan Uni Eropa. Untuk ekspor saja, pada Oktober 2016 paling besar yaitu untuk tujuan ke negara China sebesar US$ 1,67 miliar.

Sementara untuk impor pada bulan Oktober 2016 paling besar juga berasal dari China sebesar US$ 2,4 miliar. Bahkan, jika dilihat sepanjang Januari-Oktober 2016 ini jumlah impor dari China mencapai US$ 24,47 miliar.

Bandingkan, dengan impor Indonesia yang berasal dari Amerika Serikat yang hanya US$ 644 juta pada bulan Oktober dan sebesar US$ 5,9 miliar sepanjang Januari-Oktober 2016.

Besarnya volume impor ini juga menjadi salah satu alasan yang membuat Indonesia tergantung kepada mata uang dollar AS. Itu sebabnya, setiap rilis jumlah cadangan devisa oleh Bank Indonesia (BI) selalu dibandingkan dengan kebutuhan impor dalam bulan tertentu.

Oleh karenanya, menurut Bambang pemerintah harus mulai mengurangi ketergantungan impornya, dengan mengembangkan industri manufaktur. Tapi langkah ini akan membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Ekonom Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latif Adam mengatakan, pengembangan industri manufaktur merupakan agenda reformasi struktural yang sedang dilakukan pemerintah. Namun keerhasilannya akan ditentukan oleh seberapa besar investasi yang masuk untuk ikut dalam pengembangannya.

Mengingat, penegmbangan industri manufaktur tidak mungkin sepenuhnya dibiayai dari anggaran pemerintah. Meskipun, pemerintah memang terus menambah alokasi untuk pembangunan infrastruktur, tetapi masih ada gap antara kebutuhan dan ketersediaan dana.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×