Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menyebut Pengadilan Negeri (PN) Jakarta membuat sensasi yang berlebihan. Menyusul putusan atas gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait proses Pemilu 2024.
“Masak, Komisi Pemilihan Umum (KPU) divonis kalah atas gugatan sebuah partai dalam perkara perdata oleh PN. Bahwa vonis itu salah, logikanya sederhana, mudah dipatahkan tapi vonis ini bisa memancing kontroversi yang bisa mengganggu konsentrasi. Bisa saja nanti ada yang mempolitisir seakan-akan putusan itu benar,” kata Mahfud melalui unggahan di akun Instagramnya, Kamis (2/3).
Mahfud pun mengajak KPU untuk naik banding ke tingkat Pengadilan Tinggi. Melakukan perlawanan habis-habisan secara hukum. Dirinya menyakini KPU akan menang.
“Kalau secara logika hukum pastilah KPU menang. Mengapa? Karena PN tidak punya wewenang untuk membuat vonis tersebut,” katanya.
Baca Juga: Ini Penjelasan PN Jakarta Pusat Soal Putusan Tunda Pemilu 2024
Mahfud menjabarkan ada empat alasan hukum KPU menang dalam perkara ini. Pertama, sengketa terkait proses, administrasi, dan hasil pemilu itu diatur tersendiri dalam hukum. Kompetensi atas sengketa pemilu bukan di Pengadilan Negeri.
Sengketa sebelum pencoblosan jika terkait proses admintrasi yang memutus hrs Bawaslu tapi jika soal keputusan kepesertaan paling jauh hanya bisa digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Nah Partai Prima sudah kalah sengketa di Bawaslu dan sudah kalah di PTUN. Itulah penyelesaian sengketa administrasi jika terjadi sebelum pemungutan suara. Adapun jika terjadi sengketa setelah pemungutan suara atau sengketa hasil pemilu maka menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi (MK). Itu pakemnya. Tak ada kompetensinya Pengadilan Umum. Perbuatan Melawan Hukum secara perdata tak bisa dijadikan obyek terhadap KPU dalam pelaksanaan pemilu,” jelasnya.
Kedua, hukuman penundaan pemilu atau semua prosesnya tidak bisa dijatuhkan oleh PN sebagai kasus perdata. Tidak ada hukuman penundaan pemilu yang bisa ditetapkan oleh PN.
Menurut Undang-Undang (UU) penundaan pemungutan suara dalam pemilu hanya bisa diberlakukan oleh KPU untuk daerah-daerah tertentu yang bermasalah sebagai alasan spesifik, bukan untuk seluruh Indonesia.
“Misalnya, di daerah yang sedang ditimpa bencana alam yang menyebabkan pemungutan suara tak bisa dilakukan. Itu pun bukan berdasar vonis pengadilan tetapi menjadi wewenang KPU untuk menentukannya sampai waktu tertentu,” katanya.
Baca Juga: Yusril: Putusan PN Jakarta Pusat Perintahkan Tunda Pemilu Keliru
Ketiga, vonis PN Jakarta Pusat tak bisa dimintakan eksekusi. “Harus dilawan secara hukum dan rakyat bisa menolak secara masif jika akan dieksekuasi. Mengapa? Karena hak melakukan pemilu itu bukan hak perdata KPU,” paparnya.
Keempat, penundaan pemilu hanya karena gugatan perdata parpol bukan hanya bertententang dengan UU tetapi juga bertentangan dengan konstitusi yang telah menetapkan pemilu dilaksanakan 5 tahun sekali.
“Kita harus melawan secara hukum vonis ini. Ini soal mudah, tetapi kita harus mengimbangi kontroversi atau kegaduhan yang mungkin timbul,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News