Reporter: Grace Olivia | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia makin meningkat di sepanjang kuartal I-2019. Bank Indonesia (BI), Jumat (17/5), melaporkan, ULN Indonesia yang disumbang pemerintah dan swasta mencapai US$ 387,6 miliar atau naik 7,9% dibandingkan periode sama tahun lalu (yoy).
Baik utang luar negeri pemerintah maupun swasta mengalami kenaikan. Utang luar negeri pemerintah dan bank sentral tercatat sebesar US$ 190,5 miliar. Sebanyak US$ 187,7 miliar diantaranya merupakan utang pemerintah, yang tumbuh 3,6% yoy.
Sejalan, ULN swasta mengalami peningkatan menjadi US$ 197,1 miliar atau tumbuh 12,8% yoy, lebih tinggi dari pertumbuhan kuartal sebelumnya yang hanya 11,3% yoy. ULN swasta pada kuartal IV-2018 masih sebesar US$ 190,6 miliar.
Di tengah tren peningkatan ULN, prospek kinerja ekspor Indonesia justru suram. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor pada April lalu hanya US$ 12,6 miliar atau turun 10,8% dibanding ekspor Maret. Demikian juga jika dibandingkan dengan ekspor April 2018 mengalami penurunan 13,1%.
Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menilai, peningkatan ULN yang tak sejalan dengan perbaikan kinerja ekspor membuat beban ULN Indonesia makin berat.
"Ini terlihat dari rasio pembayaran utang (debt to service ratio/DSR) yang mengalami peningkatan," kata David, Minggu (19/5).
BI mencatat, DSR secara kuartalan mencatat kenaikan menjadi 27,96% pada kuartal I-2019. Rasio ini lebih tinggi dari kuartal sebelumnya yang hanya 25,58%, atau kuartal I-2018 yang hanya 25,65%.
Rasio ULN terhadap PDB juga meningkat, yaitu 36,88% per akhir Maret lalu. Periode yang sama tahun lalu, rasio ULN terhadap PDB hanya 34,8%.
David menilai, sejatinya rasio dan pertumbuhan ULN Indonesia masih cukup wajar. Hanya saja, pemerintah perlu lebih waspada terhadap DSR yang meningkat, terutama di tengah prospek kinerja ekspor yang diperkirakan tidak akan membaik hingga akhir tahun.
"Ekspor kita masih sangat bergantung pada komoditas, sedangkan komoditas semakin turun volume dan harganya. DSR perlu diwaspadai karena ini terkait kemampuan kita membayar utang tersebut," kata David.
Volume ekspor komoditas semakin menurun di tengah melemahnya permintaan global seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat. Sementara, tren harga komoditas memang sudah melemah dalam beberapa tahun terakhir, misalnya batubara dan kelapa sawit yang menjadi komoditas ekspor andalan Indonesia selama ini.
Oleh karena itu, wacana pemerintah melakukan diversifikasi ekspor agar tak hanya bergantung pada komoditas perlu semakin diseriusi. Selain itu, aliran investasi asing langsung (FDI) juga perlu didorong masuk ke dalam negeri karena bisa menjadi sumber devisa yang besar.
"Selama ini kebutuhan devisa untuk menutupi ULN lebih banyak mengandalkan portofolio inflow saja. Ini harus diubah karena cukup berisiko," tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News