Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Sanny Cicilia
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Beberapa waktu lalu, dunia usaha sempat mengeluhkan upaya Ditjen Pajak menggencarkan law enforcement atau penegakan hukum. Pasalnya, penegakan hukum itu dianggap keluar dari koridor, yakni mengeluarkan bukti permulaan (bukper) secara tidak terarah.
Diketahui, ada lebih dari 100 perusahaan yang tengah dalam proses tersebut lantaran ada indikasi menerbitkan faktur fiktif. Direktur Pemeriksaan dan Penagihan DJP Angin Prayitno Aji mengatakan, saat ini, proses bukper itu masih berjalan di Direktorat Penegakan Hukum DJP.
“Itu (bukper) saat proses pemeriksaan. Kalau ada bukper, pemeriksaannya di-hold dulu atau berhenti sesuai dengan PMK 239,” katanya di kantor Kementerian Keuangan (Kemkeu), Jumat (10/11).
“(Bukper) ya jalan terus. Kami dalam proses berenti (pemeriksaan) ini.
Terpisah, Direktur Penegakan Hukum DJP Yuli Kristiono mengatakan, proses bukper kepada lebih dari 100 perusahaan yang sempat ribut ini akan dilanjutkan. “Iya, saya akan melihat perkembangannya,” ucapnya.
Bukper, menurut Yuli, hanya bisa berhenti dengan tiga cara. Pertama, apabila memang tidak ada bukti indikasi pidana.
Kedua, apabila wajib pajak ada indikasi pidana tetapi dia membayar sanksinya. Ketiga, apabila gelar perkara tersebut naik ke penyidikan.
“Bisa berhenti, tapi naik penyidikan. Jadi tiga cara itu. Kami akan komunikasikan dengan WP biar mereka paham begini loh tahapnya,” kata dia.
Adapun pihaknya tengah mempelajari mengapa proses bukper yang berjalan beberapa waktu lalu sempat bikin gaduh dunia usaha. Ia yang baru dilantik menggantikan posisi Dadang Suwarna ini bilang, ke depannya bukper akan sesuai dengan pendalaman pengembangan analisis informasi data laporan pengaduan (IDLP).
Adapun proses bukper ini akan berjalan dengan koordinasi dengan Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan yang dipimpin oleh Angin. Hal ini agar tidak ada tumpang tindih dalam proses penegakan hukum itu.
“Pasti kami bicara dengan teman-teman di pemeriksaan. Setidaknya, pada saat analisis pengembangan untuk bukper, kami dapat data dari pemeriksaan sehingga tidak jalan masing-masing,” jelasnya.
Asal tahu saja, penyebab dari kegaduhan terkait bukper ini adalah adanya bukper yang dilakukan kepada WP yang sudah ikut amnesti pajak. Adapun apabila yang digunakan adalah hasil pengamatan fiskus di tahun 2016, hal ini dianggap tidak berdasar karena periodenya terlalu pendek untuk menentukan apakah ada indikasi pidana.
Soal ini, menurut Yuli, sah-sah saja apabila sudah ikut amnesti pajak tetapi dilakukan bukper sepanjang ada bukti indikasi pidana. “Kalau ikut amnesti pajak tapi 2016 masih ketemu dengan bukti yang menunjukkan dia tidak patuh dan mengarah ke indikasi pidana, ya kami bukper,” jelasnya.
“Tergantung datanya seperti apa. Tidak langsung bukper. Artinya harus ada analisis dan pengembangan IDLP,” lanjutnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News