Reporter: Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diusung Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) nampaknya masih menjadi andalan sebagai salah satu program perlindungan sosial (perlinsos) untuk membantu masyarakat miskin atau tidak mampu.
Pasalnya program yang sempat disinggung terlalu ‘memanjakan’ masyarakat nyatanya masih dipertahankan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak awal pandemi hingga 2024 mendatang.
Padahal, Jokowi kala menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta sempat menolak keras adanya program BLT. Ia lebih memilih program BLT diberikan kepada usaha-usaha produktif.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyampaikan, meskipun program BLT dikritik saat era SBY buktinya bantuan tunai saat ini dianggap lebih efektif dibanding bantuan non tunai seperti pembagian beras.
Baca Juga: Pos Indonesia Akan Menyalurkan BLT El Nino Kepada 12.000 KPM di Malang
“Barang seperti bansos beras sering dikeluhkan kualitasnya kurang baik, bahkan banyak yang akhirnya dibuang karena tidak layak konsumsi,” tutur Bhima kepada Kontan.co.id, Minggu (17/12).
Sebagai informasi, pemerintahan era SBY mulai menggulirkan program BLT sebagai respons kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) dunia pada 2005.
Sementara Presiden Jokowi mulai mengadopsi program BLT pada awal pandemi Covid-19 lalu sebagai upaya untuk membantu masyarakat dan meminimalkan dampak dari pandemi tersebut.
Bhima berpendapat, bantuan dalam bentuk uang tunai juga dipersepsikan memberikan kepercayaan bagi penerima. Sebab uang tersebut bisa dibelanjakan masyarakat sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
“Mau beli kebutuhan pokok bisa, sampai untuk membayar cicilan utang juga bisa. Ibaratnya penerima diberi kepercayaan mengelola sendiri kebutuhannya,” terangnya.
Baca Juga: AdMedika Wujudkan Ekosistem Kesehatan lewat Kolaborasi Layanan Telemedisin Klikdokter
Bhima juga menilai saat ini sistem pemberian pemberian BLT mulai membaik, sejalan dengan adanya perbaikan data agar penerima bantuan ini lebih tepat sasaran.
Kuncinya, ada pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) agar bisa lebih teliti dalam mendata seperti menghindari penerima ganda atau menghapus data penerima bagi yang sudah meninggal.
Membandingkan dengan era SBY, menurutnya penyaluran BLT era Presiden Jokowi sudah jauh lebih efektif, yang mana penyaluran uang tersebut ditransfer langsung melalui rekening penerima. Sedangkan pada era SBY penyaluran masih dilakukan melalui kantor Pos.
Bhima menambahkan, program BLT juga dianggap memberikan efek kepuasan politik terutama saat diberikan menjelang pemilu.
“Ada korelasi antara persetujuan rating Jokowi yang tinggi dengan pembagian BLT. Meski Jokowi sudah tidak ikut pemilu, tapi Capres yang dipersepsikan mendapat dukungan presiden mendapat BLT efek juga sehingga ratingnya tinggi,” ungkapnya.
Baca Juga: Penurunan Kemiskinan di Bawah Target
Maka dari itu, lanjut Bhima, Jokowi yang dulunya mengkritik program BLT karena dianggap tidak produktif, ternyata makin disukai sebagai narasi pemerintah peduli orang miskin.
Bhima juga menyampaikan perlu adanya pengawasan penyaluran perlinsos di era Pemilu untuk menghindari kaitannya pemberian bantuan pemerintah tidak ada kaitannya dengan politik.
Menurutnya, pemerintah bisa melakukan pengawasan mulai dari internal, melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kejaksaan, dan juga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Selanjutnya, jika secara administratif penyaluran bansos dipastikan tidak ada pelanggaran, maka pengawasan perlu dilengkapi dengan pengawasan di level masyarakat. Selain itu, sarana pengaduan juga penting, maka jika ada masyarakat yang miskin tapi belum mendapat bansos harus bisa ditindaklanjuti.
“Kemudian momentum pembagian bansos juga penting, misalnya jangan sampai pembagian bansos dilakukan pada Februari saat pemilu berlangsung, tapi diatur waktunya 2-3 bulan sebelum pemilu untuk hindari politisasi bansos,” ungkapnya.
Untuk diketahui, program bantuan sosial (bansos) di era SBY terus meningkat setiap tahunnya. Awal SBY menjabat yakni pada 2004, anggaran bansos tercatat sebesar Rp 9,8 triliun. Realisasi tersebut terus meningkat hingga pada akhir masa jabatannya anggaran bansos digelontorkan sebesar Rp 96,63 triliun.
Baca Juga: Jokowi Mulai BLT El Nino, Selanjutnya Bisa Diambil di Kantor Pos
Selama bansos ini dikucurkan, perkembangan penduduk miskin relatif menurun. Pada 2004 angka kemiskinan tercatat sebesar 16,66% dengan total penduduk miskin sebanyak 36,15 juta jiwa.
Dalam kurun waktu 10 tahun, angka kemiskinan ini kemudian menurun, hingga pada akhir masa jabatan SBY pada 2014 yakni tercatat sebesar 10,96% dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 27,73 juta jiwa.
Adapun pada Era kepemimpinan Jokowi, program untuk melindungi masyarakat diberi nama Program Perlindungan Masyarakat (Perlinsos). Anggaran perlinsos ini juga terus meningkat dalam 8 tahun terakhir.
Pada 2015 anggaran perlinsos dianggarkan sebesar Rp 276,2 triliun, anggaran ini terus meningkat hingga tahun depan yang tercatat sebesar Rp 493,5 triliun dalam APBN 2024.
Presiden Jokowi bahkan berencana akan menambah jumlah keluarga penerima manfaat (KPM) penerima bansos beras dari Perum Bulog sebesar 8% dari data sebelumnya mulai awal tahun depan.
Baca Juga: Bantuan Tunai Desember Cair, Cek BLT El Nino Di Cekbansos.kemensos.go.id
Penerima bansos beras mulai Januari 2024 nanti bertambah menjadi 22 juta keluarga penerima, dimana sebelumnya ada sebanyak 21,3 juta KPM.
Pada Maret 2015, angka kemiskinan tercatat sebesar 11,22% dengan 28,59 juta jiwa. Sementara itu, pada 2023 persentase penduduk miskin tercatat menurun menjadi 9,36% atau mencapai mencapai 25,9 juta orang.
Sementara itu, pada 2024 mendatang, pemerintah menargetkan tingkat kemiskinan ekstrem mendekati 0% dan tingkat kemiskinan di Indonesia sekitar 6% - 7% pada 2024.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News